Tampilkan postingan dengan label Artikel. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Artikel. Tampilkan semua postingan

05 Februari, 2008

Senjakala Waktu

“Selamat tahun baru”; dari waktu yang lama menuju ke waktu yang baru, dari menatap ke belakang menuju menatap ke depan, dari sebuah kepasrahan menuju penantian harapan, dari kebelengguan menuju ke pencerahan, dari kekakuan menuju ke pembaharuan. Itulah masa dimana penantian berada di dalam pengharapan akan sukacita dalam pergeseran waktu.

Tahun 2007 adalah waktu lama, dan tahun 2008 adalah waktu yang baru. Pergantian waktu disambut dengan suka cita, dan suka cita selalu hadir seturut harapan itu. Traumatisasi akan dirajut untuk melahirkan detraumatisasi. Babak baru telah muncul dalam sikap optimistis. Menghadapi waktu yang baru untuk menghilangkan segala perkara. Optimistis dijunjung tinggi dengan alasan segenap pengalaman. Itulah suka cita dalam menyambut tahun 2008 yang lagi-lagi seturut dengan sebuah pengharapan.

Dalam pengharapan ada perjumpaan signifikan antara diri dengan waktu. Bukan waktu yang dipentingkan, melainkan proses pemwaktuan tersebut. “Waktu adalah bentuk kesadaran dalam pengalaman,” begitulah kata Kant menyoal keterkaitan keduanya. Itulah keberadaan diri di dalam waktu, yang kemudian selalu disandingkan bersama; yang dinamakan sebagai ruang. Penyandingan bukan berarti asal muasal, karena yang asal selalu berada di dalam pemwaktuan dan pengruangan. Kedua inilah, pengwaktuan dan pengruangan, yang juga dinamakan realitas. Dalam pemwaktuan, maka diri dan waktu hadir. Diri terlibat langsung dalam rentangan waktu. Dengan demikian realitas adalah sebuah kesimpulan di dalam pengwaktuan dan pengruangan, dalam hal ini relasi di jalin dalam ruang dan waktu. Relasi antara manusia dengan manusia, manusia dengan lingkungan adalah wujudnya selama pengalaman diri menjadi pusat pemahaman akan pengwaktuan dan pengruangan.

Tanpa diri maka waktu tak terbahasakan dan tak bernilai, karena diri adalah juga segala sesuatu dan apapun yang ada di bawah langit, demikian gambaran dari sang bijak yang bernama Qohelet (pengkotbah).

Penantian panjang akan tahun 2008 adalah juga pemwaktuan. Penantian dengan rasa suka cita adalah bentuk rasa syukur terhadap pemwaktuan itu, walaupun waktu yang lama masih meninggalkan perkaranya sendiri; dengan syarat pengharapan diusung untuk memperbaiki segala perkara lampau kepada kehidupan yang lebih baik. Begitu seterusnya. Alangkah baiknya jika semua manusia berpemahaman demikian: bersama-sama meninggalkan perkaranya tanpa sebuah jejak, walaupun Qohelet selalu mengingatkan akan segala sesuatu yang memiliki waktunya, termasuk dalam perkara-perkara tersebut.

Kritik terhadap Euforia

Sifat pesimis adalah ciri khas dari Qohelet, begitu ahli kitab sering menggambarkannya. Namun sifat tersebut dapat menjadi tegangan untuk melahirkan sebuah sikap yang baru, yakni dari sebuah anti tesis yang bernama euforia. Segalanya tentang euforia adalah segalanya tentang keberlebihan. Kenikmatan dianggap menjadi timpang dengan dalih sikap keambisiusan. Masa penantian dengan pengharapan bukan lagi dicerna dengan hikmat. Kenyataan dalam pemwaktuan dan pengruangan dirajut dengan pengharapan yang termateri. Baginya, Qohelet, semua ini hanyalah usaha menjaring angin.

Menyelami hidup dalam waktu akan membawa perenungan di dalam materi. Perenungan yang merupakan persentuhan antara manusia dengan jagad raya. Pemwaktuan dengan euforia tidak akan membawa kepada kehidupan yang lebih baik. Euforia akan membawa segalanya termateri. Semuanya bersandar akan segala realitas yang terperikan.

Penantian panjang akan waktu yang baru menjadi larut dengan sebuah euforia. Sikap optimis harus dibayar mahal dengan sebuah kenafsuan. Inilah musuh hikmat dari Qohelet yang hanya terus mencari waktu dalam paradigma materi.

Penantian dalam harapan

Tahun 2007 telah berlalu. Tahun 2008 datang dengan tampilan baru. Selama euforia itu tidak mencemarkannya, penantian di dalam harapan pun tidak akan sia-sia. Pemwaktuan dapat diprediksi namun tanpa ada pengaruh dari waktu yang termateri, karena segalanya selalu bersumber dari Allah yang tak dapat terselami oleh manusia.

Penantian telah tiba dengan waktu yang baru. Menghadapi perkaranya sendiri tanpa bersandar pada yang materi. Hanya Allah yang menjadi sumber keabadian dengan menjanjikan segala sesuatu indah pada waktunya.

Selamat menghadapi tahun 2008 dengan perkaranya sendiri.

27 November, 2007

Kehidupan Gereja Yang Berbasis Pada Pembinaan Berkesinambungan dan Menyeluruh

Pendahuluan

  1. Seorang Komunis dari Uni Soviet pernah bertanya kepada Gembala Gereja yang sedang menginjilinya itu: “Untuk apa Kristen hadir di dunia ini?” Lalu, jawab Gembala Gereja tersebut: “agar manusia dibumi ini mendapatkan keselamatan.” Mendengar jawaban tersebut, seorang komunis itu lalu pergi, sambil berkata: “Saya tidak butuh jaminan itu.”

  1. Suatu kali Mahatma Gandhi pernah berkeinginan untuk masuk dan mengikuti kebaktian di Gereja. Ketika ia masuk ke dalam Gereja tersebut, ia melihat jemaat duduk sesuai dengan kastanya masing-masing. Lalu dia tidak jadi mengikuti kebaktian.

Gambaran diatas sengaja saya tampilkan sebagai cerminan bagi kekristenan (baca: Gereja); dan ternyata gambaran diatas masih sangat relevan bagi gereja-gereja dewasa ini. Pada gambaran pertama, seorang komunis tersebut melihat ke arah praksis-transformatif, sedangkan gambaran kedua cenderung kepada sikap rekonstruksi etis. Namun intinya dalam ranah religiositas-dogmatis kedua gambaran diatas ingin merujuk kepada bentuk kenyataan dalam proyeksi kekinian (this world), bukan hanya the outer world. Dalam tradisi dogmatika Kristen fenomena ini dijelaskan dalam soteriologi (keselamatan).[1]

Gereja-gereja di dalam perjalanannya cenderung melihat soteriologi ke dalam ‘masa yang akan datang’ (the outer world), tanpa mempedulikan atau acuh kepada bentuk keselamatan masa kini (this world). Gereja hanya lebih mengkhususkan diri di dalam pernyataan-pernyataan yang sifatnya kurang responsif akan realitas-realitas yang terjadi. Padahal hubungan antara this world dengan the outer world adalah juga hubungan kontinuitas dalam bentuk prima causa. Pemahaman inilah yang mengakibatkan Gereja larut di dalam stagnasi atau kekakuan.

Kedua gambaran diatas sebenarnya ingin mengajak kita kepada pemahaman ulang akan pengertian Gereja yang selama ini terdistorsi dalam sikap pragmatisme semu, khususnya dalam pengertiannya sebagai komunitas atau keluarga (Mat. 12: 49-50). Dengan pendekatan sikap etis-praksis maka makna komunitas gerejawi akan menetaskan kehidupan gerejawi yang menyorot pola tingkah laku sebagai pondasi awal di dalam pembinaan Gereja sebagai wujud terciptanya koinonia.

Kehidupan Gereja Pondasi Awal dalam Gereja yang Hidup

Jika kita bertanya dan kemudian mencari apa yang menjadi dasar dari persekutuan Gereja? Maka jawab kita adalah seputar makna gereja (eklesia) dan perluasan maknanya. Jawaban tersebut adalah logika dasar sistematika pandangan kita. Namun secara epistemologi, hal mendasar dari persekutuan Gereja tersebut dilandaskan karena adanya pemahaman bersama yang mengikat. Pemahaman yang bukan sekedar dalam payung dogma, melainkan yang berbasis kepada aspek kehidupan (life). Pemahaman ini dapat disimpulkan, bahasa Paul Tillich, sebagai komunitas spiritual.

Bagi Tillich, komunitas spiritual berangkat dari 2 daktum penting, yakni ontologi dan kosmologi. Ontologi dapat dimengerti sebagai pemahaman atau pengenalan akan dirinya ketika mereka berjumpa dengan Tuhan, sedangkan kosmologi melihat sesuatu yang lain/ baru/ di luar dirinya ketika berjumpa dengan Tuhan.[2] Hal yang terdalam dari kehidupan di dalam keperibadian ini adalah ontologi yang menjadi titik tolak di dalam komunitas spiritual (kosmologi) - yang terikat di dalam pengertian yang sama dalam bentuk kasih persaudaraan (Fil. 2:1-2). Segala potensi yang mengikat haruslah berakar dari aspek ontologi dalam bentuk persamaan kognitif, sehingga Paulus membahasakannya ke dalam pembaharuan roh dan pikiran (Ef. 4: 23). Pemahaman Paulus ini harus dilihat dalam terminologinya mengenai persekutuan atau koinonia. Tak heran Paulus selalu mengingatkan manusia agar berada di dalam persekutuan atau koinonia dengan menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus (Fil. 2: 5). Intinya, pemahaman mendasar tersebut harus mendaging di dalam kehidupan spiritualitas yang melahirkan kehidupan kasih di dalam komunitas spiritual. Inilah kehidupan Gereja.

Spiritualitas di dalam pengertian ontologi (pribadi-pribadi) memang dapat menimbulkan resistensi di dalam persekutuan atau koinonia, namun mekanisme akan bentuk kasih persaudaraan dapat muncul ketika pemahaman yang mengikat di dalam persekutuan tidak berada di dalam ketakutan-ketakutan dogmatis tetapi haruslah berada di dalam bentuk kedagingan manusia – pemahaman yang sifat kognitifnya berada dalam pengertian untuk melengkapi tabiat manusia sebagai mahluk berelasi dan co-existence. Artinya, spiritualitas diperlukan untuk mengembangkan komunitas di dalam kebutuhan personal/pribadi.

Menurut John MacMurray di dalam bukunya Person in Relation, manusia adalah komunitas personal yang berelasi. Manusia tidak dapat berkembang ketika berada diluar dari konteks komunitas personal. “I” tidak mungkin menjadi jika tidak ada “you”, tanpa sesuatu yang ideal dari “we” sebagai komunitas. Komunitas adalah proses bagaimana kita berpikir, merasakan dan bertindak bersama-sama. Yang pribadi tidak dimengerti di dalam kebenaran mutlak.

Dengan pengertian manusia sebagai mahluk berelasi maka kehidupan gereja haruslah menyorot kepada basis kehidupan yang tidak kaku yang hanya terbatas pada diri sendiri, tapi di dalamnya turut aktif membentuk komunitas-komunitas baru dan juga bergumul dalam mempertahankan atau memperbaharui komunitas-komunitas yang lain sebagai mekanisme ontologi yang melahirkan kosmologi. Makna kasih sebagai pondasi dasar dari komunitas harus dimengerti dalam hubungannya dengan pribadi atau komunitas yang lain.

Koinonia sebagai Persekutuan Etis

Ada tiga tugas panggilan gereja di dalam kehadirannya di bumi ini, yakni Marturia, Koinonia dan Diakonia. Ketiganya saling berhubungan satu sama lain di dalam penjelasan praksisnya. Tugas yang satu menjadi sempurna tatkala berada di dalam keterkaitan dengan tugas yang lainnya, begitu juga sebaliknya. Koinonia sebagai persekutuan yang hidup harus menjalankan peran marturia dan diakonianya. Tidak kaku sebatas pada komunitas itu sendiri, dan tidak puas akan kuantitas itu sendiri. Peran penting dalam koinonia yang menyangkut pada 2 hal, yakni kuantitas dan kualitas harus berada dalam kesinergisan.

Menurut Harvey Cox, peran koinonia adalah peran di dalam membangun City of Man. Gambaran Harvey Cox ini menuju kepada sebuah cita-cita yang tidak lagi sekedar persekutuan, melainkan peradaban manusia. Semuanya harus bermula dari membangun komunitas kecil di dalam persaudaraan kasih, sehingga cita-cita ke arah membangun peradaban manusia yang lebih baik dapat terwujud (this world). Inilah impian Harvey Cox tentang koinoniannya.

Untuk membangun koinonia maka berarti kita harus membangun etika Kristen di dalam persekutuan tersebut. Di dalam Alkitab, etika Kristen memang selalu menyorot kepada bentuk etika komunitas atau persekutuan. Alasannya, pertama, etika Kristen selalu diberikan kepada pribadi-pribadi manusia di dalam menyesuaikan diri dengan komunitasnya, kedua etika Kristen diberikan untuk komunitas secara keseluruhan, dan ketiga etika Kristen diberikan untuk membangun komunitas tersebut. Ketika etika Kristen sudah terbangun menjadi pondasi dari persekutuan maka persaudaraan kasih yang menjadi pesan di dalam Alkitab dapat terwujud.

Intinya, etika Kristen tidak hanya terpaku kepada etika personal, tapi di dalamnya ada nilai-nilai moralitas yang membangun untuk menciptakan koinonia yang ideal, bahkan dunia atau peradaban yang lebih baik sesuai impian Harvey Cox, karena nilai-nilai etis bagi Kristiani adalah nilai-nilai yang universal di dalam diri manusia sebagai mahluk sosial.

Metode Penerapan di dalam Pembinaan

Seperti yang dikatakan Paulus di dalam menggambarkan persekutuan, bahwa diperlukan pembaharuan roh dan pikiran, maka di dalam mengembangkan etika Kristen diperlukan 2 aspek, pertama, paedagogis atau pendidikan. Pendidikan tersebut lebih mengarahkan manusia ke arah transformasi dalam kualitas perkembangan hidup. Artinya pendidikan dibawa ke arah pembentukan etika dan moral.

Ada dua sifat secara psikologis yang mendasari pendidikan, yakni sifat kognitif dan psikomotorik. Kedua sifat ini menggambarkan kompetensi dan isi akan nilai-nilai etis Kristiani dari pribadi-pribadi manusia. Untuk yang bersifat kognitif, metode pendidikan dapat dilakukan dengan strategi heuristic atau penemuan, sedangkan yang sifatnya psikomotorik dapat dilakukan dengan metode pemberitahuan dan pelatihan/expository. Kedua sifat ini seyogyanya dibarengi dengan keberimbangan akan usia seseorang dan konteks di dalam komunitas.

Kedua, selain pedagogis, yakni dengan spiritualitas (Roma 8: 29). Spiritualitas disini lebih diarahkan kepada Teologi Operasional seseorang. Artinya, bagaimana perkembangan iman seseorang tersebut yang di dalam pengertiannya (pengetahuan dan Nalar) dalam memuliakan Allah, bahkan ketika melewati cobaan-cobaan iman di dalam sebuah refleksi teologis (bdk. Flp. 3:7-9)

Garis-garis pendekatan yang biasanya digunakan di dalam spiritualitas ini, yakni dapat dilakukan dengan pendekatan kontemplatif (meditasi/hening) dan pendekatan intelektual (Pendalaman Alkitab/kelompok kecil). Tentunya, kedua pendekatan ini dapat disesuaikan dengan kebutuhan yang diperlukan.

Pembinaan Holistik dan Berkesinambungan

Untuk penerapan pembinaan dalam membangun persekutuan maka yang paling dibutuhkan adalah membagi atau mengkategorikan kelompok-kelompok sesuai dengan kebutuhan pembinaan tersebut, sehingga pembinaan bagi persekutuan dapat mengena sasarannya.

Pada taraf ini, yang sering dilakukan adalah dengan membagi sesuai dengan kategori usia. Pembagian kategori tersebut diupayakan dengan maksud agar pembinaan dapat berjalan secara komprehensif dan berkesinambungan. Bentuk pembinaan tersebut juga bermaksud sebagai bentuk regenerasi atau peremajaan bagi kehidupan gereja.

Di HKBP sendiri pembagian kategorial menurut usianya, yakni kategorial Sekolah Minggu untuk usia anak-anak, Kategorial Remaja untuk remaja, Kategorial Naposobulung (NHKBP) untuk pemuda, Kategorial Ama dan Ina untuk kaum Bapak dan Ibu serta Kategorial Lansia untuk orang-orang yang lanjut Usia. Pembagian kategori umur ini hanyalah garis besar dari pembagian kelompok umur secara umum, tidak menutup kemungkinan juga pembagian kategorial tersebut kembali dibagi sesuai dengan kebutuhannya dan kemampuan umurnya (secara psikologis). Misalnya saja untuk Kategorial Sekolah Minggu yang masih dibagi lagi sesuai dengan kelompok umurnya masing-masing (horong 1 sampai 3). Selain pembagian menurut kelompok usia pembinaan koinonia juga sering dikategorikan berdasarkan pembagian gender. Misalkan saja pada zaman sekarang sudah banyak gereja-gereja yang memasukkan kategorial wanita sebagai agenda pelayanannya.

Yang menjadi fungsi dari pembagian kategorial tersebut agar pembinaan bagi persekutuan/koinonia dapat disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan di dalam psikologis manusia. Tak menutup kemungkinan pula ada pembagian kategorial yang baru di dalam persekutuan (gereja) yang sifatnya komprehensif dan pragmatis, sehingga pembinaan dari persekutuan sendiri menjadi hidup dengan menjawab kebutuhan-kebutuhan persekutuan di dalam rentangan ruang dan waktu.

Dengan pembinaan tersebut maka etika Kristen yang menjadi pesan di dalam Alkitab dapat dibahasakan sesuai dengan tingkatan dari kebutuhan-kebutuhan, tanpa mengubah pesan dari pondasi persekutuan/koinonia sebagai persaudaraan kasih.

Maka dari itu agar pembinaan dalam membangun sebuah persekutuan/koinonia tersebut dapat berjalan maka dibutuhkan peran aktif masing-masing pribadi di dalam bersekutu, bergumul dan berjuang bersama di dalam persaudaraan kasih.

Penutup

Filemon 1:6

“Dan aku berdoa, agar persekutuanmu di dalam iman turut mengerjakan pengetahuan akan yang baik di antara kita untuk Kristus.”

Kepustakaan

Macmurray, John. Person in Relation. London: Faber and Faber, 1961.

Tillich, Paul. Teology of Culture. New York: Oxford University Press, 1959.

Hanson, Bradley C.(ed.) Modern Christian Spirituality. Atlanta Georgia: Scholars Press,

1990.

Hart, Thomas. Spiritual Quest. New York: Paulist Press, 1999.



[1] Penjelasan mengenai this world dan the outer world berakar dari istilah “Kerajaan Allah sudah dekat” ( Mrk. 1: 15)

[2] Paul Tillich, Teology of Culture (New York: Oxford University Press, 1959), hlm. 10-11.

09 September, 2007

DEBATA Menurut Konfesi HKBP

DEBATA Menurut Konfesi HKBP

Oleh:

Andreo Fernandez Rajagukguk

Pendahuluan

Sepanjang sejarah, gereja selalu merumuskan ajarannya sebagai bentuk pengakuan imannya. Bentuk pengakuan iman tersebut dapat dikatakan sebagai bentuk keyakinan yang dipegang teguh di dalam menemukan keberadaannya dalam tuntutan ditengah-tengah masyarakat. Tuntutannya tersebut berupa pengidentifikasian diri terhadap segala ajaran-ajaran sesat yang mengganggu iman manusia terhadap Tuhan. Sehingga di dalam perjalanannya, konfesi selalu melihat pengaruh-pengaruh yang berkembang di lingkungan sekitar (baca: konteks).

Konfesi dan konteks tidak dapat dipisahkan. Sifatnya selalu meliputi atau berada di dalam 2 hal, yaitu yang fundamentalis dan pragmatis. Sifat fundamentalis menandakan konfesi yang memiliki dasar di dalam pandangannya atau pengakuannya (iman). Sedangkan sifat pragmatis adalah sebuah ‘kapita selekta’ di dalam persoalan yang menjadi bahan untuk dijawab di dalam bentuk pengidentifikasian diri. Sehingga di dalam konfesi istilah-istilah yang di pakai di dalam bahasanya (semantik) adalah istilah mempercayai (manghaporseai), menyaksikan (manghatindangkon), menekankan (mangondolhon), menjalankan (mangaradoti) dan melawan atau menolak (manulak).

Konfesi sudah hadir semenjak masa bapak-bapak gereja, dan konfesi selalu diperbaharui dari masa ke masa. Namun perubahan tersebut bukanlah bentuk kelabilan dari yang fundamen tersebut (baca: Alkitab), namun cenderung kepada tuntutan sifat pragmatis tersebut. Pragmatis adalah konteks yang berupa sosial, budaya, politik dll. yang sifatnya praksis di dalam lingkungan sekitar. Tepatnya, konfesi adalah sebuah bahasa baru di dalam tuntutan zaman.

Biasanya isi di dalam konfesi menyangkut pada hal-hal esensial di dalam permasalahan gereja, misalnya mengenai Allah, Ketritunggalan Allah, manusia, Gereja, Tata Gereja, dsb. Di dalam makalah ini kita akan berusaha menggali lebih dalam mengenai Allah (Debata) dan ketritunggalanNya menurut konfesi HKBP, serta implementasinya terhadap perkembangan-perkembangan, baik berupa ajaran-ajaran atau pemahaman-pemahaman, di dalam situasi saat ini. Namun sebelumnya perlu terlebih dahulu dibahas mengenai pengertian dari konfesi sebagai landasan awal dari keberadaannya (otoritas).

Konfesi

  1. Pengertian Konfesi

Di dalam pengertiannya, istilah konfesi telah menjadi baku pemakaiannya di dalam tradisi Gereja. Artinya, istilah konfesi sendiri telah melekat sebagai suatu bahasa Gereja (teologis). Namun secara pandangan umum, di dalam kamus oxford, istilah konfessi (confess) mempunyai 2 pengertian umum, yaitu: “to declare” atau “disclose”; dan “to acknowledge for one self.” Kedua pengertian tersebut merujuk kepada pemisahan ruang privat dari ruang publik. Pemisahan tersebut merupakan bentuk kemurnian ruang privat terhadap pencemaran atau kesamaran dari ruang publik.

Di dalam tradisi Alkitab, istilah konfesi sama penggunaannya di dalam Perjanjian Lama, yaitu dengan istilah “schema,” dalam bahasa Ibrani artiya “dengarkanlah”, Sedangkan di dalam Perjanjian Baru, yaitu “homologein” artinya memuji Allah dan mengaku dosa.

Di dalam tradisi gereja, istilah konfesi diambil dari bahasa Latin, yaitu “confessio” artinya pengakuan dosa atau juga sebagai pengakuan iman. Istilah tersebut telah dipakai oleh gereja selama ratusan tahun yang lalu, sehingga pengertian konfesi ini digunakan dengan 2 maksud, yaitu pertama sebagai simbol yang dipakai oleh gereja-gereja kuno, dan kedua sebagai “credo”, artinya aku percaya, yang dipakai di dalam ibadah.

2. Dasar dan Legitimasi Konfesi

Seperti yang sudah dikatakan diatas bahwa terdapat 2 maksud dari konfesi di dalam tradisi gereja, yaitu sebagai simbol dan credo, maka kedua maksud tersebut ingin merujuk kepada jemaat sebagai suatu komunitas dan jemaat sebagai individu-individu di dalam ibadah, walaupun secara teologis keduanya memiliki maksud yang sama sebagai bentuk pengakuan iman atas karunia keselamatan. Di dalam makalah ini, pembahasan mengenai konfesi yang merujuk kepada suatu komunitas lebih difokuskan.

Pertanyaan mendasar di dalam sebuah konfesi adalah mengapa gereja memerlukan konfesi? Bukankah sudah terdapat Alkitab sebagai dasar dari gereja? Pertanyaan tersebut ingin menekankan pengertian Gereja yang tidak hanya dipandang sebagai suatu gedung bangunan, melainkan kumpulan dari orang-orang percaya, Paul Tillich membahasakannya sebagai komunitas spiritual. HKBP sendiri di dalam konfessi tahun 1996 memandang Gereja sebagai persekutuan orang yang percaya kepada Yesus Kristus di dunia ini, yang dipanggil, dikumpulkan, dikuduskan, dan ditetapkan Allah melalui Roh Kudus. (1 Kor.1:2; 1Ptr. 2:9; 1Kor. 3; Yoh. 17; Mat. 13:24-30).

Kaitan antara gereja dengan komunitas inilah yang kemudian membuat konfesi sangat dibutuhkan di dalam gereja, selain dari alasan teologis yang mencakup hubungan gereja kepada Tuhan sebagai pengakuan iman atas karya keselamatan. Dasar dari kebutuhan tersebut menyangkut kepada peranan gereja di dalam memberikan aturan, ketenangan dan pemeliharaan kepada komunitasnya (1Kor. 14:33; 1Ptr. 2: 4-6).

Di dalam 1 Timotius 3:15 dikatakan sangat jelas bahwa Gereja adalah tiang penopang dan dasar kebenaran. Dari penjelasan tersebut, Gereja harus menjadi tangan Allah di dunia ini di dalam mewahyukan dan menjaga kemurnian ajaran Allah dari adanya gangguan ajaran-ajaran yang menyesatkan. Artinya, gereja harus berperan di dalam menghadirkan ajaran Allah di tengah-tengah ‘isme-isme’ di dunia ini. Untuk itulah sifat konfesi sendiri tidak statis, melainkan dapat berubah sesuai perkembangan zaman.

Alasan di atas merupakan alasan internal di dalam tubuh Gereja. Namun secara eksternal, konfesi sendiri menjadi suatu kebutuhan dengan alasan: Pertama, menyangkut kondisi sosial dan budaya masyarakat yang tidak sesuai dengan Alkitab. Kedua, karena dikondisikan dengan agama-agama secara umum dan juga gereja-gereja secara khusus. Alasan kedua ini cenderung kepada bentuk identifikasi atas tradisi gereja-gereja di sepanjang sejarahnya; dan juga perbandingan dengan agama-agama lain: Islam, Budha, Hindu, dll. Ketiga, adanya paham yang berbeda mengenai cara-cara ataupun solusi di dalam mennyelesaikan masalah-masalah sosial. Alasan ketiga ini disebabkan adanya “How to read the Bibel” yang berbeda-beda di setiap gereja-gereja.[1]

Alasan internal dan eksternal tersebut menjadikan konfesi dibutuhkan oleh gereja-gereja, namun terlepas dari kedua alasan tersebut, Gereja sendiri memiliki kuasa di dalam membuat Konfesi Gereja. Sehingga konfesi bukan sekedar teks yang berisi tentang keilmiahan di dalam Teologi, melainkan ekspresi dari iman, Carl Gustav Jung membahasakannya ke dalam ekspresi jiwa manusia di dalam hubungannya dengan Tuhan.[2] Di dalam Konfesi HKBP, kuasa Allah atas konfesi tersebut adalah:

Ø Konfesi sesuai dengan Alkitab, karena Allahlah sumber dari kuasa Alkitab.

Ø Allah memakai manusia menjadi alatNya untuk menulis Kitab Suci (2 Tim. 3:16a), maka Allah juga yang memakai hambaNya, pelayan di Gereja, menyusun Konfesi dari Gereja itu, berdasarkan kebenaran yang terkandung dalam Alkitab (2 Kor. 1:21-22).

Ø Konfesi mempunyai kuasa menyatakan kepribadian dan rencana Allah Tritunggal, menyatakan keselamatan yang dilakukan Yesus Kristus, menyatakan keberadaan Gereja di dunia ini dan menyatakan harta rohani yang perlu diketahui oleh orang percaya (1 Tes. 2:13).

Ø Konfesi mempunyai kuasa melahirkan dan meneguhkan iman gereja, dan juga mempunyai kekuatan melawan dan menolak segala ajaran yang menyimpang yang lahir atas kehendak manusia.

Ø Seluruh warga jemaat harus dengan sungguh-sungguh tunduk terhadap seluruh yang diajarkan oleh Konfesi.

3. Maksud dan Tujuan Konfesi

Seperti yang sudah dijelaskan diatas, maka esensi dari Konfesi Gereja sendiri mengandung dua 2 landasan penting yaitu: Pertama, suatu jawaban terhadap Firman Allah. Dari jawaban tersebut berarti terjadi dialog antara Allah dengan manusia. Kedua, yaitu jawaban terhadap manusia. Jawaban tersebut hanya merupakan kesaksian untuk melawan para ajaran sesat.[3] Dari 2 landasan tersebut, maka konfesi sendiri memiliki maksud dan tujuan yang jelas di Gereja. HKBP secara spesifik menjelaskan maksud dan tujuan Konfesi tersebut, yaitu:

§ Konfesi Gereja adalah kesimpulan dari berita dan ajaran Kitab Suci, itulah menjadi isi iman yang kita hayati dan dasar dari pengharapan kita dalam hidup sekarang dan yang akan datang.

§ Konfesi merupakan suluh, penuntun dan dasar dari segenap pekerjaan, pengajaran dan khotbah di HKBP, karena hanya ajaran yang benarlah yang dapat menggarami dan menerangi hidup kita di dunia ini.

§ Konfesi merupakan dasar bagi HKBP dalam menyusun Anggaran Dasarnya, dan bersaksi bersama-sama dengan gereja-gereja di dunia ini.

§ Konfesi adalah dasar bagi HKBP mel;awan dan menolak segala ajaran yang bertentangan dengan Firman Allah.

§ Konfesi menunjukkan jati diri HKBP dalam seluruh persaudaraan oikumenis, dalam kesaksian dan keberadaannya di dunia ini.

4. Konfesi di dalam HKBP

Semenjak HKBP berdiri, HKBP telah memiliki 2 konfesi di sepanjang sejarahnya. Konfesi pertama dibuat pada tahun 1951, dan konfesi yang kita akui sekarang tahun 1996. Kedua konfesi tersebut tidaklah bertentangan, melainkan sebagai bentuk penyempurnaan dari konfesi yang lama di dalam ruang dan waktu. Bentuk penyempurnaan ini, yaitu penambahan tentang Manusia (pasal 3), Masyarakat (pasal 4), dan Kebudayaan dan Lingkungan Hidup (pasal 5).

Konfesi (Pengakuan Iman) atau Panindangion Haporseaon HKBP bukanlah konfesi yang berdiri sendiri terhadap konfesi gereja-gereja lainnya, tetapi konfesi HKBP mengakui dan berdasar pada konfesi ‘Bapa-Bapa Gereja’, yaitu Konfesi Apostolicum, Niceanum dan Athanasianum. Ketiga konfesi tersebut merupakan satu kesatuan dengan konfesi HKBP.

Konfesi selalu terikat dengan ruang dan waktu, sehingga perbedaan dari konfesi HKBP dengan ketiga konfesi tersebut hanyalah permasalahan ruang dan waktu pula; secara substansial tetaplah sama.

Selain dan ketiga konfesi tersebut, HKBP juga mengakui konfesi Martin Luther, dan Konfesi Barmen Thesen pada awal abad 20. Dengan pengakuan tersebut berarti HKBP merupakan satu kesatuan dengan gereja-gereja Lutheran di seluruh dunia. Bentuk kesatuan ini bukanlah menandakan HKBP sebagai gereja eksklusif di dalam gereja-gereja Lutheran, tetapi HKBP juga menjalin hubungan dengan gereja-gereja lainnya yang sesuai dengan ketiga konfesi ‘Bapa-Bapa Gereja’, yaitu Konfesi Apostolicum, Niceanum dan Athanasianum.

Konfesi tentang Debata

Di dalam konfessi HKBP dijabarkan 2 perihal menyangkut Allah, yang pertama tentang Kepribadian Allah dan kedua tentang Ketritunggalan Allah. Kedua perihal tersebut akan dijabarkan, dan kemudian dianalisa untuk mencari makna yang terkandung didalamnya ketika dikaitkan dengan konteks dalam ruang dan waktu. Bentuk penganalisisan tersebut tentunya kembali ke dalam dasar dari konfesi yaitu Alkitab.

1. Kepribadian Allah

“Kita mempercayai dan menyaksikan: Allah itu esa, itulah TUHAN ALLAH, yang berawal dan tidak berakhir, yang mahakuasa, yang keberadaanNya tidak terselami, yang tidak berubah, yang mahakudus, pemarah terhadap orang yang tidak tunduk kepada FirmanNya, yang mahatahu, yang hatinya benar, setia, yang menyatakan dirinya, penceipta segala sesuatu, yang memenuhi langit dan bumi, yang memelihara, yang pemurah, sumber kehidupan, berkat dan kebahagiaan, yang memerintah. Raja dari segala raja dan Tuhan dari segalanya, mahapemurah, pengasih, Pengampun, Juruselamat, yang hukumnya benar, yang menang, yang membangkitkan, pemersatu, yang gembala, Pembela, sumber dari sega pengetahuan. Dia jugalah yang menguasai sejarah dan kematian (Ul. 6:4; Kel. 3:14; Kej. 17:1; Mzm. 105:8; 1Kor. 1:9; 2 Tes. 3:3; Luk. 1:37; Rom. 11:33; Ul. 10:17; Rom. 2:11; 1Kor 1:30; Mzm. 103:8, 24:1; Yes. 6:3; Yoh, 3:16; 1 Tim. 6:15-16)”

Allah atau Debata di dalam bahasa Batak adalah hal penting pertama yang dituliskan di dalam Konfesi HKBP. Di dalam penjabarannya tersebut, seperti yang dituliskan diatas, kepribadian Allah digambarkan dengan begitu panjang, walaupun penjabarannya tidak dapat disimpulkan dengan suatu bentuk kepastian yang kongkrit. Paling tidak penjabaran yang tertuang di dalam Konfesi 1996 tersebut dapat menjadi argumen-argumen dari pertanyaan-pertanyaan mendasar: Siapakah Allah? Apa itu Allah? Dimanakah Allah? Apakah Allah adalah Substansi? Apakah Allah adalah ‘Ada’? Apakah Allah itu Seseorang? Apakah Allah sebuah Proses? Ataukah Allah itu sebuah Kata?

HKBP di dalam menjabarkan kepribadian Allah berdasar kepada Alkitab, khususnya banyak di ambil dari Perjanjian Lama. Di dalam Perjanjian Lama tersebut, Allah bukan hanya memegang peranan yang vital, tetapi juga sangat terlihat dengan jelas keistimewaan Allah di dalam otoritas kemutlakanNya sebagai penguasa dunia.

Allah dituliskan di dalam Perjanjian Lama dengan הןהי atau YHWH, sedangkan di Perjanjian Baru dituliskan dengan Κυρίος. Istilah YHWH sendiri bukanlah nama yang melekat di dalam keberadaanNya, melainkan menunjuk kepada “yang paling tertinggi yang melebihi segala keberadaan di dunia ini.” Namun sifat yang “tertinggi” ini, bukan menandakan kepribadian Allah yang tidak dapat digambarkan mengenai sifat-sifatNya. Manusia, seperti dijelaskan di dalam Alkitab, diciptakan serupa dan segambar dengan Allah (Kej. 1:26), dan penciptaan tersebut berarti hakekat Allah ada pada Manusia.

Penggambaran mengenai Kepribadian Allah tetaplah tidak dapat menggambarkan Allah secara kongkret, karena di sepanjang sejarah pencarian manusia akan Allah selalu berujung kepada kemisterian-Nya. Dialog antara Allah dengan Musa di dalam Kel. 3:14, Allah hanya menjelaskan diriNya: ‘AKU ADALAH AKU’. Penjelasan singkat tersebut menjelaskan tentang ke-‘Ada’-anNya (Being). Yang ‘Ada’ menandakan kehadiran Allah (presenting) dalam bentuk totalitas diri (omniprsentia). KehadiranNya mengandaikan ketersingkapan diri dari ketaktersingkapanNya. Di dalam terjemahan bahasa Yunani, dituliskan dengan EGO EIMI HO ON. EGO lebih cenderung diartikan sebagai ‘Diri’ (self). Bagi Martin Heidegger, Self di dalam totalitasnya merupakan Dasein di dalam pengertian Ada di dalam keberadaannya. Yang ‘Ada’ di dalam fragmen dengan yang ‘ada’ lainnya itulah yang disebut Dasein. Artinya, EGO atau AKU di dalam AKU ADALAH AKU menunjuk kepada Allah di dalam keberadaannya, yang tentunya di dalam menegakkan monotheismeNya. AKU ADALAH AKU bukan hanya dipandang sebagai kehadiran, melainkan kekuasaanNya /otoritasNya. Sehingga penegakkan monotheisme di dalam ketaktersingkapanNya adalah juga ketersingkapan di dalam suatu kebenaran yang mutlak (aletheia). Karl Barth melihat fenomena ini dengan membahasakannya ke dalam ‘ Known God’ dan Unknown God (diketahui dan tidak diketahui) yang merujuk kepada hubungan manusia dengan Allah. Known God dimengerti sebagai pengetahuan manusia tentang Allah di dalam pengetahuannya. Bentuk pengetahuan manusia tentang Allah ini karena Allah menampakkan diri-Nya kepada manusia dan hadir dengan menguduskan nama-Nya (monoteisme). Sedangkan Unknown God dimengerti di dalam ketidaktahuan manusia tentang Tuhan atau kemisteriannya. Known God dan Unknown God saling terkait di dalam pengertian, The Known God adalah totalitas The Unknown God (Kehadiran-Nya adalah totalitas ketidakhadiran-Nya).[4]

Di dalam membicarakan mengenai kepribadian Allah berarti kita masuk di dalam ‘Bahasa Allah.’ ‘Bahasa Allah’ yang mencakup ketersingkapanNya dan ketaktersingkapanNya yang adalah ‘Kebenaran.’ Lalu bagaimanakah manusia dapat melukiskan Kepribadian Allah? Atau seperti yang di katakan Karl Barth, bahwa Allah adalah totaliter Aliter, bagaimanakah dapat mengerti ‘Bahasa Allah’? Dari ‘Bahasa Allah’ tersebut penggambaran di dalam kepribadian Allah dilukiskan dengan sifat dengan ciptanNya, dan kekuasaanNya: itulah ketersingkapanNya; sedangkan ketaktersingkapanNya: itulah gambaran keMisterian-Nya. Ketiga (3) sifat inilah yang mendasari gambaran mengenai Kepribadian Allah.

Gambaran mengenai Kepribadian Allah di dalam Konfesi HKBP 1996 tercakup juga di dalam 3 sifat tersebut.

Kekuasaan (Otoritas)

Misteri-Nya

Sifat dengan ciptaan-Nya

§ Maha kuasa

§ Pencipta segala sesuatu

§ Sumber kehidupan

§ Memerintah

§ Raja dari segala raja

§ Yang hukumnya benar

§ Yang menang

§ Sumber dari segala pengetahuan.

§ Menguasai sejarah dan kematian.

§ Yang hukumnya benar.

§ Yang tidak berawal dan berakhir.

§ Keberadaannya tidak terselami

§ Tidak berubah.

§ Pemarah terhadap orang yang tidak tunduk pada FirmanNya.

§ Setia.

§ Pemurah.

§ Mahapemurah.

§ Pengasih.

§ Pengampun.

§ Juruselamat.

§ Pembela.

§ Memelihara.

§ Pemersatu.

§ Gembala.

Ketiga sifat tersebut sebenarnya saling kait mengait satu dengan lainnya. Misalnya, antara kekuasaanNya dengan MisteriNya, dan juga kekuasaanNya dengan Sifatnya terhadap ciptaanNya. Namun sifat tersebut dibedakan dengan sudut pandang manusia (baca: keterbatasan) yang menggambarkan Kepribadian Allah (spiritual). Di dalam ketiga sifat tersebut Kemisterian Allah tak terselami. Artinya, kebenaran yang mutlak berada di dalam diri-Nya. Sifat kemisterianNya itulah yang mencakup seluruh sifat kepribadian Allah lainnya. KemisterianNya mengandaikan “Sang Mutlak” dan “Sang Transenden” di dalam hubungan etis antara Pencipta dengan ciptaanNya.

2. Ketritunggalan Allah

Pemahaman Konfesi HKBP 1996 tentang Ketritunggalan Allah pada dasarnya diambil dari ketiga konfesi ‘Bapa-Bapa Gereja’, yaitu Konfesi Apostolicum, Niceanum dan Athanasianum. Di dalam Ketritunggalan Allah tersebut terdapat penjelasan mengenai Allah Bapa, Allah Anak dan Allah Roh Kudus. Ketiga hakekat tersebut adalah setara; tidak ada yang lebih tinggi dan yang lebih rendah.

  • Allah Bapa

Di dalam Konfesi HKBP 1996, Allah Bapa dilihat sebagai yang mencipta, memelihara, dan memerintah segala yang kelihatan dan yang tidak kelihatan, dari awal hingga selama=lamanya. Di dalam pernyataan ini Allah Bapa dijelaskan sebagai ‘Sang Ada’ yang menciptakan yang ‘ada’ lainnya. Allah Bapa bukanlah Sang Ada dari yang ada lainnya, melainkan Sang ada dari ex-nihilio, dari yang tidak Ada menjadi Ada. ‘Sang Ada’ itulah kemudian menjadi penguasa segalanya, yang ada lainnya berasal dari ‘Sang Ada’. Dengan ‘Sang Ada’ yang menciptakan yang ‘ada’ maka berarti Sang Ada melampaui segalanya di dalam kemampuan yang ‘ada’. Sehingga Allah Bapa di dalam menciptakan segalanya (manusia) berarti melampaui segala akal budi manusia. Melampaui berarti keseluruhan di dalam pengertian dan ketidakpengertian manusia. Bentuk pelampauan tersebut adalah bentuk pernyataan diri-Nya melalui Yesus Kristus sebagai Juruselamat manusia, dan juga Roh Kudus sebagai kemampuan manusia bersekutu dengan Allah.

  • Allah Anak

Allah Anak adalah Yesus Kristus. Ada 2 hal mendasar yang ditekankan Konfesi HKBP di dalam penjelasannya mengenai Yesus Kristus, yaitu pertama, penegasannya bahwa Yesus itu adalah bentuk pernyataan Allah Bapa. Kedua adalah maksud pernyataan tersebut, yaitu sebagai keselamatan manusia.

Hal pertama mengenai bentuk pernyataan Allah lebih cenderung mengadopsi dan berdasar dari Konfesi Niceanum dan Athanasianum. Konfesi Neceanum melihat kepada keAllahan Yesus Kristus di dalam hubungannya dengan Allah Bapa. Yesus Kristus adalah Anak Tunggal Allah, yang diperanakkan Allah sejak dari semula. Allah yang datang dari Allah. Penggambaran mengenai ke-Allah-an Yesus Kristus memakai Filipi 2: 7 sebagai dasar di dalam penjelasannya. Di jelaskan di ayat tersebut bahwa Allah Bapa telah mengosongkan diri-Nya dan mengambil seorang hamba (kenosis). Itulah Yesus Kristus. Bentuk pengosongan diri adalah bentuk inkarnasi Allah, sedangkan mengambil seorang hamba adalah inkarnasi itu di dalam bentuk kedagingan. Proses kedagingan tersebut tidak sama dengan proses kedagingan di dalam kelahiran seperti layaknya manusia biasa (baca: reproduksi), melainkan dengan turunya Roh Kudus ke rahim Maria sebelum Maria mengenal suaminya, Yusuf. Inkanasi Allah menandakan Allah setara dengan manusia, yang memiliki hasrat dan nafsu layaknya manusia biasa. Proses kemenjadian tersebut adalah proses Allah Bapa yang hadir bagi manusia (Deus presens).[5] Allah Bapa bukan hanya dipandang sebagai yang Transenden, melainkan juga Imanen. Di dalam Konfesi Athanasianum, gambaran mengenai Anak Allah lebih cenderung ditekankan di dalam kehakekatan Yesus Kristus. Esensinya, kehakekatan Yesus tak terpisahkan di dalam Ketritunggalan Allah dalam pengertian ketiganya memiliki hakekat yang sama; tidak lebih tinggi dan lebih rendah. Pandangan dari Konfesi Athanasium tersebut dilihat di dalam keseluruhan tindakan Allah akan dunia ini, termasuk juga keseluruhan tindakan Yesus Kristus. Suatu substansi yang menjadi dasar tindakan Allah, yang juga merupakan bentuk pernyataan di dalam ketiga oknum tersebut Bapa, Anak dan Roh Kudus. Begitu juga dengan segala karya Yesus Kristus di dalam karya penyelamatannya yang merupakan kesatuan di dalam karya Allah.

Kesatuan di dalam karya Allah tersebut, itulah yang kemudian karya Yesus di dalam dunia ini adalah karya keselamatan bagi manusia. Bagian ini merupakan bagian yang menjadi penekanan kedua mengenai Anak Allah di dalam Konfesi HKBP. Tema-tema penting di seluruh karya keselamatan Yesus Kristus membuat namaNya menjadi tinggi diantara segala bangsa dan bumi ini. Mulai dari kelahiran Yesus hingga kebengkitanNya adalah juga peran Ketritunggalan Allah, sehingga Paulus sendiri membahasakan Yesus sebagai penuh kasih dan kebenaran (Yoh. 1:14). Bahasa Paulus tersebut dimengerti di dalam kaitannya dengan Allah Bapa dan manusia, sehingga kasih dan kebenaran dimengerti sebagai bentuk pengejawantahan akan keberpengetahuan Yesus di dalam ketritunggalan Allah kepada manusia yang menandakan kasih setia Allah kepada manusia.

  • Allah Roh Kudus

Allah Roh Kudus adalah pernyataan Allah melalui RohNya. Roh Kudus datang dari Bapa dan dari Anak, namun hakekatnya tetaplah sama. Di dalam bahasa Yunani Roh Kudus berasal dari kata pneuma, yang artinya angin. Pengertian di dalam terjemahan tersebut lebih terlihat di dalam sifat wujudnya. Roh Kudus tak terlihat oleh manusia, namun dapat dirasakan.

Di dalam Roh Kudus, Allah turut serta hadir di dalam diri manusia untuk memampukan manusia serta merta berhubungan dengan Allah Bapa. Roh Kuduslah yang membuat manusia mengerti tentang Allah Bapa, sehingga manusia menjalankan tugasnya (koinonia, marturia dan diakonia). Turunnya Roh Kudus berawal dari peristiwa Pentakosta (Kis. 2). Dan dengan turunnya Roh Kudus, berarti Allah Bapa tidak meninggalkan manusia, tapi turut campur di dalamnya. Secara fungsional, turunnya Roh Kudus diartikan sebagai penerus dari tugas Yesus di dunia ini, walaupun secara hakekat keduanya sama di dalam kehadirian Allah yang imanen.

Roh Kudus yang hadir di dalam manusia menandakan manusia juga penuh akan kasih dan kebenaran. Manusia sudah dimampukan di dalam pengertian (verwendung) akan segala keberpengetahuannya. Kuasa Roh Kudus di dalam bentuk pernyataan Allah atas manusia, itulah yang kemudian membedakan Roh Kudus di dalam roh-roh lainnya.

Debata dalam Budaya Batak

Allah di dalam Bahasa Batak disebut dengan Debata. Di dalam buku Batak Fruits of Hindus Thought, istilah Debata sendiri dalam bahasa Batak berasal dari bahasa sansekerta, Devata.[6] Istilah tersebut dipengaruhi oleh Agama Hindu yang masuk ke Tanah Batak. Di dalam pengertiannya Devata berarti dewa, istilah ini dipakai di dalam agama suku Batak untuk menyebut Mulajadi Na Bolon yang diyakini sebagai dewa tertinggi bagi masyarakat Batak pada waktu itu.

Di dalam mitologi Batak, keyakinan yang dianut oleh masyarakat suku Batak sebenarnya tidak terlalu jauh berbeda dengan kekristenan sendiri secara konseptual. Pemahaman mereka di dalam mengerti mengenai Debata berdasar kepada 3 fungsional (tri-tunggal), hal yang sama pula dengan kekristenan, walaupun sangat paradoks ketika membandingkannya. Mereka meyakini adanya Debata Na Tolu, yaitu Debata Banua Ginjang yang menguasai dunia atas, Debata Banua Tonga yang menguasai dunia tengah dan juga Debata Banua Toru yang menguasai dunia bawah. Adanya dewa-dewa tersebut adalah pembagian di dalam fungsional atau peran tugasnya. Namun dari seluruh dewa yang mereka yakini tersebut, yang tertinggi ialah ilah Mulajadi Na Bolon. Dialah ilah tertinggi yang menciptakan alam semesta (cosmic); yang tidak bermula dan tidak berakhir.[7] Segala kekuasaan yang menyangkut transenden dan imanen ada di dalamnya. Dialah yang memberikan berkat bagi seluruh masyarakat Batak; seperti terungkap di dalam umpama Batak:[8]

Adong na tuat sian dolok, adong na nangkok sian toruan,

Adong na ro sian habinsaran, adong na sian hasundutan;

Manumpak ma Debata, dilehon di hamu pasupasuan.

Badobado bidang tu laklak ni antahasi;

Atik songon dia pe roham na naeng marhilang,

Adong do Ompunta Debata na mangasi.

Secara prinsipil, di dalam mengerti mengenai Debata (baca: Allah) di dalam budaya Batak maka struktur atau tingkatan-tingkatan dewa-dewa di dalam agama suku Batak dapat memberikan gambaran yang jelas. Struktur mengenai ‘debata na tolu’ di dalam keyakinan mereka telah mendarah daging di dalam filosofi kehidupan orang Batak. Ketika Agama Islam berusaha masuk ke Tanah Batak (Tapanuli Utara) dengan merubah segala tatanan mereka maka Agama Islam pun ditolak mentah-mentah. Bagi mereka, identitas mereka di dalam keyekinan adalah suatu hal yang patut dan harus dipertahankan

Ketika masuknya kekristenan di Tanah Batak, Nommensen tidak merubah struktur secara keseluruhan di dalam keyakinan mereka terhadap debata na tolu tersebut, tetapi ditranformasi ke dalam Kekristenan. Pandangan mengenai Mulajadi Nabolon ditransformasi menjadi Allah Yang Maha Kuasa, Pencipta Langit dan Bumi. Allah Trituggal yang disebut dengan Allah Bapa, Anak, dan Roh Kudus.[9] Di dalam transformasi itu kemudian nama debata Mulajadi Na Bolon diganti menjadi Debata Jahowa. Debata na Tolu di rubah paradigmanya ke dalam Allah Tritunggal yang terstigma ke dalam dualisme, yaitu Transenden dan Imanen atau di dalam bahasa Batak dikatakan Banua Ginjang dan Banua Toru.

Pengertian Debata di dalam Konteks Masa Kini

Di dalam perkembangannya, pengertian Debata selalu terkait dengan konteksnya, seturut dengan perubahan tradisi keyakinan mereka. Ketika pada masa Perjanjian Lama, Allah (YHWH) hanya dimiliki (dikenal) oleh Bangsa Israel. Allah seolah-olah mengeksklusifkan di dalam ruang tertentu, yaitu Bangsa Israel. Pengertian mengenai Allah pun selalu terbatas di dalam konteks bangsa Israel. Pergeseran pun terjadi seturut perkembangan zaman, sehingga pengertian yang tadinya eksklusif bagi Bangsa Israel bergeser pengertiannya di dalam Allah yang universal, atau Allah bukan lagi untuk bangsa Israel, melainkan untuk segala bangsa. Ke-AKU-an di dalam AKU ADALAH AKU bukanlah keberadaan bagi Musa atau Bangsa Israel, melainkan keberadaan yang tidak terikat di dalam ruang dan waktu. Pergeseran mengenai pengertian Allah tersebut adalah bukanlah sifat kelabilan di dalam diri Allah, melainkan perkembangan pemikiran manusia yang memandang Allah. Istilah-istilah fundamentalisme, konservatif dan liberalisme adalah gejala dari perkembangan tersebut.

Pada masa sekarang, masa modern, pengertian mengenai Allah lebih cenderung di lihat dalam aspek rasio. Artinya, ada rekonstruksi ulang mengenai Allah yang di dalamnya keberadaan ‘Ada’ dipertanyakan kembali di dalam ontologi. Gejala yang sama kemudian terjadi pula di dalam konfesi-konfesi Gereja, ketika Alkitab diperhadapkan dengan permasalahan “how to read.” Di dalam ontologi segala yang mencakup kepada pendekatan-pendekatan selalu dipakai di dalam rekonstruki tersebut, bahkan secara radikal pula pendekatan-pendekatan tertentu di kenakan di dalam dekonstruksi ontologi. Artnya, tidak ada lagi ikatan latar belakang peristiwa dengan ontologi tersebut.

Sebenarnya apa yang terjadi dari permasalahan di dalam fenomena ini kembali kepada abad 17, di mana terjadi kesamaran antara ilusi dengan fakta yang kemudian masuk di dalam bahasa yang sama, yakni seni.

Pada mulanya adalah Empirisme dan Rasionalisme yang berkembang di Eropa; yang keduanya lebih memfokuskan di dalam tatanan subjektum. Artinya, segalanya yang menyangkut objek di dalam keberadaannya berada di dalam alam pemikiran subjek, yaitu interpretasi di dalam konstruksi pemikiran manusia. Tatanan di dalam alam pemikiran, itulah yang diandalkan. Sedangkan makna emprisme dengan rasionalisme turut mengkaburkan antara ilusi dengan fakta. Empirisme mengandalkan empiri (pengalaman) di dalam kesubjektifannya, sedangkan rasionalisme lebih melihat rasio di dalam relasinya dengan objek. Keduanya lebih memperhatikan di dalam keberadaan subjek, sedangkan di luar kesubjekannya bukanlah keberadaan bendawi atau fakta. Kenikmatan di dalam interpretasi dipandang sebagai suatu seni yang tak berakar. Konstruksi di dalam ontologi di anggap kesemuan.

Apa yang terjadi pada masa sekarang, turut mempengaruhi di dalam pandangan manusia mengenai Allah. Pertanyaan - Siapakah Allah? Dimanakah Allah? Apakah itu Allah? – adalah sikap kritis yang meninggalkan akarnya atau sejarahnya. Tangisan Nietzsche mengenai Got Is Tot, Tuhan telah mati, dipandang di dalam refleksi seni berpikir yang meninggalkan konstruksinya. Begitu juga dengan pernyataan Wolfhart Panenberg: “God does not yet exist.”[10] Yang paling jelas terlihat di dalam fenomena ini adalah lahirnya ‘New Age’ yang diawali oleh The Beatles di dalam lirik lagu ‘Imagine’.

Buah pengaruh pemikiran pada masa sekarang adalah manusia terlalu cepat berpikir di dalam bentuk ‘premis tanpa konsekuensi,’ sehingga Allah dipakai di dalam kebenaran pragmatis. Gejala demikian adalah kebenaran lain, selain sifat radikalisme yang artinya memakai metode dekonstruksi di dalam pemahamannya. Pandangannya mengenai Allah dipakai di dalam kesenangan dan kenikmatan yang jauh berbeda dengan ke-Ada-anNya (being). Mencari dan menggantikan Allah dengan bentuk kenikmatan pribadi, atau bentuk pemberhalaan baru, misalnya uang atau material lainnya. Allah dipandang sebagai nama tanpa keberadaanNya. Babak baru di dalam pemaknaan ini mematikan nilai religiusitas dan memerdekakan seni, walaupun secara estetika, nilai religiusitas masih dipandang keberadaannya di dalam - hanya sebatas - pada kebebasan berpikir dalam ruang pemikiran yang dianut di dalam sifat estetika tersebut.

Di dalam kebebasan tersebut, paling tidak, terdapat ruang di dalam gereja-gereja untuk masuk ke dalam ruang pikiran manusia. Dan konfesi adalah bagian di dalam bahasa tersebut. Pengertian mengenai Allah haruslah dapat menjawab segala kebutuhan manusia di dalam setiap bentuk kepragmatisannya. Konfesi dan Teologi haruslah berjalan bersama dengan bahasa baru, tanpa melapaskan hakekat yang terkandung di dalamnya. Kepribadian Allah dan KetritunggalanNya haruslah mempunyai bahasa baru yang tidak sebatas pada kekakuan yang mengikatnya, seperti budaya atau tradisi. Ketika pengenalan terhada Allah sudah diangkat naik menjadi suatu pemahaman baru mengenai keuniversalannya maka yang diperlukan selanjutnya kontekstualisasi. Gambaran dari teolog-teolog mengenai wajah Yesus di Cina, India, kulit hitam dsb. membuktikan Wajah Yesus dapat hadir dimanapun. Di dalam seni, dekonstruksi diperlukan dengan batasan-batasan tertentu, yaitu batasan etis dan dogmatis. Keuniversalan Yesus adalah kehadiran Yesus yang melampaui ruang dan waktu. Namun, keuniversalan bukanlah bentuk pemberhalaan baru di dalam panteisme. Allah yang hadir dimana-mana bukan menunjuk bahwa segala yang ada dan hadir di dunia ini adalah allah.[11] Di dalam kekristenan Allah tetaplah Pribadi, Sang Ada yang mempunyai kekuasaan mutlak di dunia ini, yang menjadi gembala terhadap manusia dan juga yang tidak dapat diprediksi manusia di dalam akal pikirannya (misteriNya); yang juga termuat di dalam Konfesi HKBP.

Kesimpulan dan Refleksi

Di dalam konfesi, pengakuan iman manusia disaksikan sebagai bentuk identitas dan perlawanan terhadap ajaran-ajaran lain yang bertentangan. Kepribadian Allah dan hakekat di dalam KetritunggalanNya juga disaksikan menjadi suatu dogma yang mengikat di dalam komunitas orang percaya. Segala pemberhalaan baru yang berbeda di dalam pengakuan tersebut ditolak mentah-mentah.

Selama sepanjang perjalanannya, konfesi mengenai Allah selalu berhadapan dengan doktrin-doktrin mengenai peniadaan gagasan Allah, penyesatan di dalam pengertian mengenai hakekat Allah dan ketritunggalannya; serta penyerangan terhadap gagasan Allah (baca:Kristen) di dalam segala jenis ajaran dari sains hingga adanya keyakinan-keyakinan baru (agama). Ajaran-ajaran demikian merupakan tantangan-tantangan yang harus ditempuh di dalam pembetukan identitasnya. Paling tidak, wahyu dan kepribadian Allah dapat diagungkan ditengah-tengah masyarakat dunia, sehingga kesejahteraan dan kasih dapat menjadi nyata ditengah-tengah manusia.

Apa yang terjadi sekarang, hanyalah memandang Allah sebagai objek sains yang sekedar berada ditingkat wacana teologi. Allah dan Ketritunggakannya hanya dipandang sebagai objek yang membuat orang menjadi terkenal dengan membuat hal-hal yang sensasional. Namun, jauh dari pada hal ini, pandangan kita mengenai kepribadian Allah dan KetritunggalanNya haruslah dilihat di dalam kaca mata iman. Dengan Iman kita dapat melihat kebesaran dan kekuasaan Allah di dunia ini. Allah dan manusia haruslah bersekutu di dalam spiritualitas; yang nantinya akan berdampak di dalam kehidupan sehari-hari yang penuh dengan cinta kasih. Alangkah ngerinya jika Allah hanya dipandang sebagai kajian ilmiah? Mungkin yang terjadi adalah seperti yang dikatakan Dostoyevski: “Jika Allah tidak ada, maka semua hal diperbolehkan.”[12]

Konfesi bukan sekedar kajian teologi, melainkan didalamnya terdapat persekutuan antara Allah dengan komunitas: itulah spiritualitas. Begitu juga dengan pribadi-pribadi manusia yang memerlukan spiritualitas, sehingga kasih Allah dapat hadir di dalam diri masing-masing manusia. Dengan spritualitas maka persekutuan antara Allah dengan manusia dapat hadir di dalam fragmen-fragmen yang melampaui ruang dan waktu. Spiritualitas tak pernah berhenti di dalam sebuah titik, melainkan terus berlanjut di dalam sebuah koma yang mengikat. Untuk itu, seperti yang dikatakan Alloys Pieris: “lebih baik kita ber-nirwana (spiritual) daripada kita berteologi!”

Kepustakaan

Heidegger, Martin. Early Greek Thingking New York: Harper & Row Publishers, 1967.

Mbiti, Jhon S. Confessing Christ in different Cultures. Genewa: Ecumenical Institute, 1977.

Jung, Carl Gustav. Psychology and Religion. London: Yale University Press, 1955.

Dahlenburg, G.D. Konfesi-konfesi Gereja Lutheran: Pengantar dan Cuplikan Penting Konfesi-Konfesi Gereja Lutheran. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2000.

Barth, Karl. The Christian Life: Church Dogmatics Volume IV, Part 4 Lecture Fragments. Michigan: William & Eerdmans Publishing Company, 1981.

Braaten, Carl E. ed. Our Naming of God: Problem and Prospects af God-Talk Today. Minneapolis: Fortress Press, 1989.

Parkin, Harry. Batak Fruit of Hindu Thought. Madras: The Diocesan Press, 1978.

Lumbantobing, Andar M. Makna Wibawa Jabatan dalam Gereja Batak. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996.

Sitompul, A.A. ed. Horas HKBP: Essays for A 125-Year-Old Church. Pematangsiantar STT HKBP, 1986.

Pasaribu, M. Patar. DR. Ingwer Ludwig Nommensen Apostel di Tanah Batak. Pematangsiantar: Universitas HKBP Nommensen, 2005.

Sproul, R.C. Sifat Allah: Mencari dan Menemukan Allah. Jakarta: BPK Gunung Mulia 1995.



[1] John S. Mbiti, Confessing Christ in different Cultures (Genewa: Ecumenical Institute, 1977), hl. 96-98.

[2] Carl Gustav Jung, Psychology and Religion (London: Yale University Press, 1955), hl. 57.

[3] G.D. Dahlenburg, Konfesi-konfesi Gereja Lutheran: Pengantar dan Cuplikan Penting Konfesi-Konfesi Gereja Lutheran (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2000), hl. 3-4.

[4] Karl Barth, The Christian Life: Church Dogmatics Volume IV, Part 4 Lecture Fragments (Michigan: William & Eerdmans Publishing Company, 1981), hl. 115.

[5] Carl. E. Braaten, (ed.), Our Naming of God: Problem and Prospects af God-Talk Today (Minneapolis: Fortress Press), hl. 29.

[6] Harry Parkin, Batak Fruit of Hindu Thought ( Madras: The Diocesan Press, 1978), hl, 109.

[7] Andar M. Lumbantobing, Makna Wibawa Jabatan dalam Gereja Batak (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996), hl. 7.

[8] Harry Parkin: “God of The Umpama,” dalam A.A. Sitompul (Ed.), Horas HKBP!: Essays for A 125-Year-Old Church (Pematangsiantar: STT HKBP, 1986), hl. 11.

[9] Patar M. Pasaribu, DR. Ingwer Ludwig Nommensen Apostel di Tanah Batak (Pematang Siantar: Universitas HKBP Nommensen, 2005), hl. 102.

[10] Carl E. Braaten, Op. Cit., hl. 12.

[11] R.C. Sproul, Sifat Allah: Mencari dan Menemukan Allah (Jakarta: BPK Gunung Mulia 1995), hl. 32.

[12] Ibid., hl. 120.