Semua mata tertuju ke Austria-Swiss, bukan untuk melihat keindahan kota, melainkan untuk satu tujuan, yakni Sepak Bola. Sepak bola dapat melupakan segalanya. Motto euro 2000 menggambarkan sepak bola tanpa batas (Without Frontiers) adalah sebagai penegasannya. Bukan melupakan segalanya, tetapi Euro 2008 menindih tema-tema lainnya. Apakah anda juga demikian, penggila sepak bola? Melupakan hal lain demi sepak bola.
22 Juni, 2008
05 Februari, 2008
Senjakala Waktu
“Selamat tahun baru”; dari waktu yang lama menuju ke waktu yang baru, dari menatap ke belakang menuju menatap ke depan, dari sebuah kepasrahan menuju penantian harapan, dari kebelengguan menuju ke pencerahan, dari kekakuan menuju ke pembaharuan. Itulah masa dimana penantian berada di dalam pengharapan akan sukacita dalam pergeseran waktu.
Tahun 2007 adalah waktu lama, dan tahun 2008 adalah waktu yang baru. Pergantian waktu disambut dengan suka cita, dan suka cita selalu hadir seturut harapan itu. Traumatisasi akan dirajut untuk melahirkan detraumatisasi. Babak baru telah muncul dalam sikap optimistis. Menghadapi waktu yang baru untuk menghilangkan segala perkara. Optimistis dijunjung tinggi dengan alasan segenap pengalaman. Itulah suka cita dalam menyambut tahun 2008 yang lagi-lagi seturut dengan sebuah pengharapan.
Dalam pengharapan ada perjumpaan signifikan antara diri dengan waktu. Bukan waktu yang dipentingkan, melainkan proses pemwaktuan tersebut. “Waktu adalah bentuk kesadaran dalam pengalaman,” begitulah kata Kant menyoal keterkaitan keduanya. Itulah keberadaan diri di dalam waktu, yang kemudian selalu disandingkan bersama; yang dinamakan sebagai ruang. Penyandingan bukan berarti asal muasal, karena yang asal selalu berada di dalam pemwaktuan dan pengruangan. Kedua inilah, pengwaktuan dan pengruangan, yang juga dinamakan realitas. Dalam pemwaktuan, maka diri dan waktu hadir. Diri terlibat langsung dalam rentangan waktu. Dengan demikian realitas adalah sebuah kesimpulan di dalam pengwaktuan dan pengruangan, dalam hal ini relasi di jalin dalam ruang dan waktu. Relasi antara manusia dengan manusia, manusia dengan lingkungan adalah wujudnya selama pengalaman diri menjadi pusat pemahaman akan pengwaktuan dan pengruangan.
Tanpa diri maka waktu tak terbahasakan dan tak bernilai, karena diri adalah juga segala sesuatu dan apapun yang ada di bawah langit, demikian gambaran dari sang bijak yang bernama Qohelet (pengkotbah).
Penantian panjang akan tahun 2008 adalah juga pemwaktuan. Penantian dengan rasa suka cita adalah bentuk rasa syukur terhadap pemwaktuan itu, walaupun waktu yang lama masih meninggalkan perkaranya sendiri; dengan syarat pengharapan diusung untuk memperbaiki segala perkara lampau kepada kehidupan yang lebih baik. Begitu seterusnya. Alangkah baiknya jika semua manusia berpemahaman demikian: bersama-sama meninggalkan perkaranya tanpa sebuah jejak, walaupun Qohelet selalu mengingatkan akan segala sesuatu yang memiliki waktunya, termasuk dalam perkara-perkara tersebut.
Kritik terhadap Euforia
Sifat pesimis adalah ciri khas dari Qohelet, begitu ahli kitab sering menggambarkannya. Namun sifat tersebut dapat menjadi tegangan untuk melahirkan sebuah sikap yang baru, yakni dari sebuah anti tesis yang bernama euforia. Segalanya tentang euforia adalah segalanya tentang keberlebihan. Kenikmatan dianggap menjadi timpang dengan dalih sikap keambisiusan. Masa penantian dengan pengharapan bukan lagi dicerna dengan hikmat. Kenyataan dalam pemwaktuan dan pengruangan dirajut dengan pengharapan yang termateri. Baginya, Qohelet, semua ini hanyalah usaha menjaring angin.
Menyelami hidup dalam waktu akan membawa perenungan di dalam materi. Perenungan yang merupakan persentuhan antara manusia dengan jagad raya. Pemwaktuan dengan euforia tidak akan membawa kepada kehidupan yang lebih baik. Euforia akan membawa segalanya termateri. Semuanya bersandar akan segala realitas yang terperikan.
Penantian panjang akan waktu yang baru menjadi larut dengan sebuah euforia. Sikap optimis harus dibayar mahal dengan sebuah kenafsuan. Inilah musuh hikmat dari Qohelet yang hanya terus mencari waktu dalam paradigma materi.
Penantian dalam harapan
Tahun 2007 telah berlalu. Tahun 2008 datang dengan tampilan baru. Selama euforia itu tidak mencemarkannya, penantian di dalam harapan pun tidak akan sia-sia. Pemwaktuan dapat diprediksi namun tanpa ada pengaruh dari waktu yang termateri, karena segalanya selalu bersumber dari Allah yang tak dapat terselami oleh manusia.
Penantian telah tiba dengan waktu yang baru. Menghadapi perkaranya sendiri tanpa bersandar pada yang materi. Hanya Allah yang menjadi sumber keabadian dengan menjanjikan segala sesuatu indah pada waktunya.
Selamat menghadapi tahun 2008 dengan perkaranya sendiri.
Label: Artikel
27 November, 2007
Kehidupan Gereja Yang Berbasis Pada Pembinaan Berkesinambungan dan Menyeluruh
- Seorang Komunis dari Uni Soviet pernah bertanya kepada Gembala Gereja yang sedang menginjilinya itu: “Untuk apa Kristen hadir di dunia ini?” Lalu, jawab Gembala Gereja tersebut: “agar manusia dibumi ini mendapatkan keselamatan.” Mendengar jawaban tersebut, seorang komunis itu lalu pergi, sambil berkata: “Saya tidak butuh jaminan itu.”
- Suatu kali Mahatma Gandhi pernah berkeinginan untuk masuk dan mengikuti kebaktian di Gereja. Ketika ia masuk ke dalam Gereja tersebut, ia melihat jemaat duduk sesuai dengan kastanya masing-masing. Lalu dia tidak jadi mengikuti kebaktian.
Gambaran diatas sengaja saya tampilkan sebagai cerminan bagi kekristenan (baca: Gereja); dan ternyata gambaran diatas masih sangat relevan bagi gereja-gereja dewasa ini. Pada gambaran pertama, seorang komunis tersebut melihat ke arah praksis-transformatif, sedangkan gambaran kedua cenderung kepada sikap rekonstruksi etis. Namun intinya dalam ranah religiositas-dogmatis kedua gambaran diatas ingin merujuk kepada bentuk kenyataan dalam proyeksi kekinian (this world), bukan hanya the outer world. Dalam tradisi dogmatika Kristen fenomena ini dijelaskan dalam soteriologi (keselamatan).[1]
Gereja-gereja di dalam perjalanannya cenderung melihat soteriologi ke dalam ‘masa yang akan datang’ (the outer world), tanpa mempedulikan atau acuh kepada bentuk keselamatan masa kini (this world). Gereja hanya lebih mengkhususkan diri di dalam pernyataan-pernyataan yang sifatnya kurang responsif akan realitas-realitas yang terjadi. Padahal hubungan antara this world dengan the outer world adalah juga hubungan kontinuitas dalam bentuk prima causa. Pemahaman inilah yang mengakibatkan Gereja larut di dalam stagnasi atau kekakuan.
Kedua gambaran diatas sebenarnya ingin mengajak kita kepada pemahaman ulang akan pengertian Gereja yang selama ini terdistorsi dalam sikap pragmatisme semu, khususnya dalam pengertiannya sebagai komunitas atau keluarga (Mat. 12: 49-50). Dengan pendekatan sikap etis-praksis maka makna komunitas gerejawi akan menetaskan kehidupan gerejawi yang menyorot pola tingkah laku sebagai pondasi awal di dalam pembinaan Gereja sebagai wujud terciptanya koinonia.
Kehidupan Gereja Pondasi Awal dalam Gereja yang Hidup
Jika kita bertanya dan kemudian mencari apa yang menjadi dasar dari persekutuan Gereja? Maka jawab kita adalah seputar makna gereja (eklesia) dan perluasan maknanya. Jawaban tersebut adalah logika dasar sistematika pandangan kita. Namun secara epistemologi, hal mendasar dari persekutuan Gereja tersebut dilandaskan karena adanya pemahaman bersama yang mengikat. Pemahaman yang bukan sekedar dalam payung dogma, melainkan yang berbasis kepada aspek kehidupan (life). Pemahaman ini dapat disimpulkan, bahasa Paul Tillich, sebagai komunitas spiritual.
Bagi Tillich, komunitas spiritual berangkat dari 2 daktum penting, yakni ontologi dan kosmologi. Ontologi dapat dimengerti sebagai pemahaman atau pengenalan akan dirinya ketika mereka berjumpa dengan Tuhan, sedangkan kosmologi melihat sesuatu yang lain/ baru/ di luar dirinya ketika berjumpa dengan Tuhan.[2] Hal yang terdalam dari kehidupan di dalam keperibadian ini adalah ontologi yang menjadi titik tolak di dalam komunitas spiritual (kosmologi) - yang terikat di dalam pengertian yang sama dalam bentuk kasih persaudaraan (Fil. 2:1-2). Segala potensi yang mengikat haruslah berakar dari aspek ontologi dalam bentuk persamaan kognitif, sehingga Paulus membahasakannya ke dalam pembaharuan roh dan pikiran (Ef. 4: 23). Pemahaman Paulus ini harus dilihat dalam terminologinya mengenai persekutuan atau koinonia. Tak heran Paulus selalu mengingatkan manusia agar berada di dalam persekutuan atau koinonia dengan menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus (Fil. 2: 5). Intinya, pemahaman mendasar tersebut harus mendaging di dalam kehidupan spiritualitas yang melahirkan kehidupan kasih di dalam komunitas spiritual. Inilah kehidupan Gereja.
Spiritualitas di dalam pengertian ontologi (pribadi-pribadi) memang dapat menimbulkan resistensi di dalam persekutuan atau koinonia, namun mekanisme akan bentuk kasih persaudaraan dapat muncul ketika pemahaman yang mengikat di dalam persekutuan tidak berada di dalam ketakutan-ketakutan dogmatis tetapi haruslah berada di dalam bentuk kedagingan manusia – pemahaman yang sifat kognitifnya berada dalam pengertian untuk melengkapi tabiat manusia sebagai mahluk berelasi dan co-existence. Artinya, spiritualitas diperlukan untuk mengembangkan komunitas di dalam kebutuhan personal/pribadi.
Menurut John MacMurray di dalam bukunya Person in Relation, manusia adalah komunitas personal yang berelasi. Manusia tidak dapat berkembang ketika berada diluar dari konteks komunitas personal. “I” tidak mungkin menjadi jika tidak ada “you”, tanpa sesuatu yang ideal dari “we” sebagai komunitas. Komunitas adalah proses bagaimana kita berpikir, merasakan dan bertindak bersama-sama. Yang pribadi tidak dimengerti di dalam kebenaran mutlak.
Dengan pengertian manusia sebagai mahluk berelasi maka kehidupan gereja haruslah menyorot kepada basis kehidupan yang tidak kaku yang hanya terbatas pada diri sendiri, tapi di dalamnya turut aktif membentuk komunitas-komunitas baru dan juga bergumul dalam mempertahankan atau memperbaharui komunitas-komunitas yang lain sebagai mekanisme ontologi yang melahirkan kosmologi. Makna kasih sebagai pondasi dasar dari komunitas harus dimengerti dalam hubungannya dengan pribadi atau komunitas yang lain.
Koinonia sebagai Persekutuan Etis
Ada tiga tugas panggilan gereja di dalam kehadirannya di bumi ini, yakni Marturia, Koinonia dan Diakonia. Ketiganya saling berhubungan satu sama lain di dalam penjelasan praksisnya. Tugas yang satu menjadi sempurna tatkala berada di dalam keterkaitan dengan tugas yang lainnya, begitu juga sebaliknya. Koinonia sebagai persekutuan yang hidup harus menjalankan peran marturia dan diakonianya. Tidak kaku sebatas pada komunitas itu sendiri, dan tidak puas akan kuantitas itu sendiri. Peran penting dalam koinonia yang menyangkut pada 2 hal, yakni kuantitas dan kualitas harus berada dalam kesinergisan.
Menurut Harvey Cox, peran koinonia adalah peran di dalam membangun City of Man. Gambaran Harvey Cox ini menuju kepada sebuah cita-cita yang tidak lagi sekedar persekutuan, melainkan peradaban manusia. Semuanya harus bermula dari membangun komunitas kecil di dalam persaudaraan kasih, sehingga cita-cita ke arah membangun peradaban manusia yang lebih baik dapat terwujud (this world). Inilah impian Harvey Cox tentang koinoniannya.
Untuk membangun koinonia maka berarti kita harus membangun etika Kristen di dalam persekutuan tersebut. Di dalam Alkitab, etika Kristen memang selalu menyorot kepada bentuk etika komunitas atau persekutuan. Alasannya, pertama, etika Kristen selalu diberikan kepada pribadi-pribadi manusia di dalam menyesuaikan diri dengan komunitasnya, kedua etika Kristen diberikan untuk komunitas secara keseluruhan, dan ketiga etika Kristen diberikan untuk membangun komunitas tersebut. Ketika etika Kristen sudah terbangun menjadi pondasi dari persekutuan maka persaudaraan kasih yang menjadi pesan di dalam Alkitab dapat terwujud.
Intinya, etika Kristen tidak hanya terpaku kepada etika personal, tapi di dalamnya ada nilai-nilai moralitas yang membangun untuk menciptakan koinonia yang ideal, bahkan dunia atau peradaban yang lebih baik sesuai impian Harvey Cox, karena nilai-nilai etis bagi Kristiani adalah nilai-nilai yang universal di dalam diri manusia sebagai mahluk sosial.
Metode Penerapan di dalam Pembinaan
Seperti yang dikatakan Paulus di dalam menggambarkan persekutuan, bahwa diperlukan pembaharuan roh dan pikiran, maka di dalam mengembangkan etika Kristen diperlukan 2 aspek, pertama, paedagogis atau pendidikan. Pendidikan tersebut lebih mengarahkan manusia ke arah transformasi dalam kualitas perkembangan hidup. Artinya pendidikan dibawa ke arah pembentukan etika dan moral.
Ada dua sifat secara psikologis yang mendasari pendidikan, yakni sifat kognitif dan psikomotorik. Kedua sifat ini menggambarkan kompetensi dan isi akan nilai-nilai etis Kristiani dari pribadi-pribadi manusia. Untuk yang bersifat kognitif, metode pendidikan dapat dilakukan dengan strategi heuristic atau penemuan, sedangkan yang sifatnya psikomotorik dapat dilakukan dengan metode pemberitahuan dan pelatihan/expository. Kedua sifat ini seyogyanya dibarengi dengan keberimbangan akan usia seseorang dan konteks di dalam komunitas.
Kedua, selain pedagogis, yakni dengan spiritualitas (Roma 8: 29). Spiritualitas disini lebih diarahkan kepada Teologi Operasional seseorang. Artinya, bagaimana perkembangan iman seseorang tersebut yang di dalam pengertiannya (pengetahuan dan Nalar) dalam memuliakan Allah, bahkan ketika melewati cobaan-cobaan iman di dalam sebuah refleksi teologis (bdk. Flp. 3:7-9)
Garis-garis pendekatan yang biasanya digunakan di dalam spiritualitas ini, yakni dapat dilakukan dengan pendekatan kontemplatif (meditasi/hening) dan pendekatan intelektual (Pendalaman Alkitab/kelompok kecil). Tentunya, kedua pendekatan ini dapat disesuaikan dengan kebutuhan yang diperlukan.
Pembinaan Holistik dan Berkesinambungan
Untuk penerapan pembinaan dalam membangun persekutuan maka yang paling dibutuhkan adalah membagi atau mengkategorikan kelompok-kelompok sesuai dengan kebutuhan pembinaan tersebut, sehingga pembinaan bagi persekutuan dapat mengena sasarannya.
Pada taraf ini, yang sering dilakukan adalah dengan membagi sesuai dengan kategori usia. Pembagian kategori tersebut diupayakan dengan maksud agar pembinaan dapat berjalan secara komprehensif dan berkesinambungan. Bentuk pembinaan tersebut juga bermaksud sebagai bentuk regenerasi atau peremajaan bagi kehidupan gereja.
Di HKBP sendiri pembagian kategorial menurut usianya, yakni kategorial Sekolah Minggu untuk usia anak-anak, Kategorial Remaja untuk remaja, Kategorial Naposobulung (NHKBP) untuk pemuda, Kategorial Ama dan Ina untuk kaum Bapak dan Ibu serta Kategorial Lansia untuk orang-orang yang lanjut Usia. Pembagian kategori umur ini hanyalah garis besar dari pembagian kelompok umur secara umum, tidak menutup kemungkinan juga pembagian kategorial tersebut kembali dibagi sesuai dengan kebutuhannya dan kemampuan umurnya (secara psikologis). Misalnya saja untuk Kategorial Sekolah Minggu yang masih dibagi lagi sesuai dengan kelompok umurnya masing-masing (horong 1 sampai 3). Selain pembagian menurut kelompok usia pembinaan koinonia juga sering dikategorikan berdasarkan pembagian gender. Misalkan saja pada zaman sekarang sudah banyak gereja-gereja yang memasukkan kategorial wanita sebagai agenda pelayanannya.
Yang menjadi fungsi dari pembagian kategorial tersebut agar pembinaan bagi persekutuan/koinonia dapat disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan di dalam psikologis manusia. Tak menutup kemungkinan pula ada pembagian kategorial yang baru di dalam persekutuan (gereja) yang sifatnya komprehensif dan pragmatis, sehingga pembinaan dari persekutuan sendiri menjadi hidup dengan menjawab kebutuhan-kebutuhan persekutuan di dalam rentangan ruang dan waktu.
Dengan pembinaan tersebut maka etika Kristen yang menjadi pesan di dalam Alkitab dapat dibahasakan sesuai dengan tingkatan dari kebutuhan-kebutuhan, tanpa mengubah pesan dari pondasi persekutuan/koinonia sebagai persaudaraan kasih.
Maka dari itu agar pembinaan dalam membangun sebuah persekutuan/koinonia tersebut dapat berjalan maka dibutuhkan peran aktif masing-masing pribadi di dalam bersekutu, bergumul dan berjuang bersama di dalam persaudaraan kasih.
Penutup
Filemon 1:6
“Dan aku berdoa, agar persekutuanmu di dalam iman turut mengerjakan pengetahuan akan yang baik di antara kita untuk Kristus.”
Kepustakaan
Macmurray, John. Person in Relation. London: Faber and Faber, 1961.
Tillich, Paul. Teology of Culture. New York: Oxford University Press, 1959.
Hanson, Bradley C.(ed.) Modern Christian Spirituality. Atlanta Georgia: Scholars Press,
1990.
Hart, Thomas. Spiritual Quest. New York: Paulist Press, 1999.
Label: Artikel