“Benarkah yang Miskin itu Menderita?”
Suatu Refleksi tentang Persepsi menurut Merleau-Ponty
Oleh:
Andreo F. Rajagukguk
“Benarkah yang miskin itu menderita?” Hal yang tersembunyi dibalik sebuah tingkah laku menyoal masalah sosial di dalam sebuah pertanyaan sosial pula, ialah: kedigdayaan subyek dalam memandang sebuah kenyataan yang ada. Pertanyaan yang tadinya menjelaskan kenyataan yang ada, justru menyulut sumbu ke subjek pelaku. Pertanyaan yang semakin menjauh dari tujuan dasarnya. Sebuah kedegilankah? Terlambat dengan sebuah waktu yang berjalan di dalam kenyataan itu sendiri, ketika subjek masih berasik ria berdiri di atas kursi yang memiliki pandangan luas di dalam melihat kenyataan. Memojokkan subjek atas segalanya, tanpa mengusik sedikitpun mengenai objek di dalam kenyataan itu sendiri. Itulah Maurice Merleau-Ponty ketika mengkritik pandangan mengenai empirisme.
Ponty lahir pada tanggal 14 Maret 1908. Ponty termasuk di dalam jajaran filsuf besar Prancis. Segala karyanya terpengaruhi oleh 2 istilah yang berkembang di barat pada waktu itu, yaitu empirisme dan intelektualisme. Tidak terlalu jelas apakah Ponty sendiri punya pengalaman pribadi yang buruk mengenai situasi yang berkembang pada waktu itu. Namun yang jelas, ia melihat suatu pola sikap kehidupan masyarakat yang cenderung kepada pemikiran yang rasionalis, (Cartesian Rationalist) segalanya dilihat dengan maksud dan tujuan. Suatu pola kehidupan masyarakat yang bersumber dari 2 hal pemikiran tersebut.
Empirisme; “Saya melihat orang Miskin itu?”
Apa yang terjadi pada abad ke-17 adalah buah kekuasaan dan kejayaan empirisme. Pola tingkah laku masyarakat yang kemudian digambarkan para filsuf pada abad tersebut nantinya menjadi paradoks dengan Ponty. Sedikit menghargai karya dari filsuf-filsuf besar di dalam memberikan masukan kepada kekurangan empirisme, Ponty justru tidak melihat kemungkinan perpaduan antara Subjek dengan Dunia. Berawal dari empirisme yang memandang pengetahuan berasal dari empiri (pengalaman), dan akal menjadi pengolah bahan-bahan yang diperoleh dari pengalaman itu, Kant dan Descartes (Cartesian) hanya menjebatani keterpisahan antara subjek dengan objek, self dengan world, dengan tanpa memandang hubungan objek dengan tindakan. Kant, misalnya, hanya merepresentasikan pada kesadaran diri, keadaan yang ada sebagai kondisi diri, dan relasi tindakan sebelumnya dijadikan dasar di dalam keterhubungannya selanjutnya. Sedangkan Descartes dengan cogitonya terlalu cepat menyimpulkan aspek dualisme di dalam diri, mental dan fisik.
“Saya melihat orang miskin itu?,” adalah upaya di dalam interaksi antara subjek dengan objek. Subjek dipandang hanya sebagai penonton yang menonton dari atas untuk memandang objek, sedangkan relasi antara subjek dengan objek hanya berdasarkan dari pengalaman subjek. Subjek tidak mungkin dapat memahami apapun yang ada kecuali jikalau mempunyai pengalaman. Dari titik inilah kemudian Ponty mengkritik empirisme yang kurang mendukung kekuatan subjek. Subjek tidak dapat melihat apa yang dibutuhkan untuk mengetahui apa yang di cari.
“Saya melihat orang miskin itu?”, harus mencari sebuah pengalaman untuk dapat berelasi dengan yang miskin. Suatu kelemahan yang meremehkan subjek dan juga melemahkan objek (baca: kosmos) ketika nantinya tidak dianggap sebagai yang ada; karena yang ada hanyalah bendawi yang tidak tergantung pada gagasan subjek. Buah akan harapan dari empirisme adalah materialisme yang justru melemahkan rasa sensitf akan subjek di dalam memandang objek. Kaitannya yang nantinya berkurang di dalam refleksi analisis subjek. Segala realitas hanya berada di dalam keterkaitan dengan objek, sedangkan di luar dari keterkaitan itu bukan di dalam gagasan subjek. Mungkin bagi orang-orang miskin, objektifitas di dalam bentuk bendawi masih di genggam empirisme, namun situasi yang membentuknya sangat absurd berada di dalamnya. Suatu kelemahan empirisme yang sampai sekarang masih dipertanyakan di dalam membentuk kehidupan masyarakat yang lebih baik.
Persepsi
Apa yang membuat terkenal dari karya Ponty adalah kritiknya mengenai empirisme. Banyaknya kelemahan yang ia lihat di dalam empirisme, khususnya mengenai subjektifitas, membuatnya berusaha membuat pemahaman ulang mengenai subjek. Pemahaman kembali yang harus bermula dari awal lagi, yaitu pemahaman mengenai ontologi tentang being. Bermula dari fisik dan metafisik yang saling berkaitan, kemudian Ponty memberikan pemahaman baru mengenai subjek, berbeda dengan pemahaman dari empirisme, bahwa subjek bukan hanya terkait akan pengalaman yang membentuknya, tetapi juga sikap, situasi dan suasana akan objek (cosmos). Kesemuanya ini adalah bagian-bagian dari yang Ada. Makna subjek dan objek dibahasakan ke dalam yang pengada sebagai individual. Pembahasan dari Ponty sangat jelas mengenai keterhubungannya di setiap individu atau inter-individual. Setiap individu kemudian merepresentasikan suasana atau situasi yang Ada menjadi kesatuan objek, namun kesatuan objek itu dibedakan dengan subjek pikiran, karena yang subjek tercemar di dalam kesamaran objek.
“Yang Miskin” adalah suatu objek dari berbagai individu, namun di dalam individual yang miskin belum tentu dapat merepresentasikan setiap kesubjektifan tersebut. Kesamaran akan wujud penggeneralisasian di dalam suasana atau situasi akan berwujud pula nantinya di dalam sikap. Artinya, ada kemungkinan yang Ada itu adalah bukan bagian dari anggapan, namun tetaplah objek; dan juga yang Ada bagian dari anggapan. Yang Ada terus tersingkap di dalam kesamaran, dan menurut Ponty, persepsi berperan dalam hal ini.
Baginya, persepsi membuat subjek tidak hanya menjadi penonton belaka, melainkan terus berperan aktif di dalam menganalisis objek, yang juga kumpulan dari persepsi. Persepsi harus melihat keseluruhan di dalam situasi yang membentuk Ada, yang nantinya turut di dalam mengungkapkan ketersingkapan tersebut.
Kesalahan selama ini, persepsi selalu ditanggapi dengan “konsekuensi tanpa premis”; dalam arti intelektual yang berperan terlalu cepat atau salah di dalam penegasian akan sesuatu hal, sehingga salah pula nantinya di dalam pengafirmasian/penegasannya.
I am My Body
Bagi Ponty penjelasannya mengenai persepsi berdasar akan dualisme ontologi, yakni transeden dan imanen, mind dan body (tubuh). Mind tidak dapat dipisahkan dengan body. Keduanya saling terkait di dalam membentuk subjek (baca: kesadaran). Mind mencakup kepada intelektual, sensasi, ingatan, dan pengalaman. Sedangkan tubuh adalah bentuk inkarnasi dari mind. Bentuk keselarasan ini kemudian ia nyatakan dengan ‘I am My Body.’ Tidak itu saja. Mind bukan hanya dimengerti sebagai fungsi mewujudkan atau merangsang body di dalam tindakan atau gerak, tetapi juga turut serta menerima masukan akan situasi yang juga membentuk mind akhirnya, dan rangsangan dari “luar” tersebut di terima melalui body.
Penjelasannya mengenai ‘I am My body’ lebih mengkhususkan body sebagai organ manusia di dalam keberadaannya. Sifat body yang di dalam keselarasannya dengan Mind lebih meluaskan pandangan mengenai tubuh manusia yang bukan hanya sekedar sebagai objek atau material belaka, melainkan sebagai perasa yang merasakan setiap rangsangan dari dunia, khususnya situasi di dalam keberadaan diri. “Our own body is in the world as the heart is in the organism,” begitu Ponty mengungkapkan keberadaan body. Dengan mind, body dapat sebagai perasa dan berpikir. Apa yang dibicarakan Ponty di sini adalah buah dari keseluruhan subjek sebagai keseluruhan objek. “I am My Body” lebih mengkhususkan kepada pembentukan body-subject, para subjek dengan keselarasan antara body dan mind.
Dengan dasar akan ontologi ini maka persepsi tidak hanya berdiam akan segala rangsangan, melainkan turut aktif dan kreatif mengobservasi segala hal, bahkan sebelum rangsangan tersebut muncul; yang juga bersifat rangsangan walaupun bersifat bendawi yang dianggap oleh empirisme sangat absurd di dalam gagasan subjek. Dengan keselarasan mind dan body, bentuk-bentuk tindakan body-subjek yang tidak dapat dipisahkan dari perasaan body-subjek, maka wujud nyata akan persepsi berada di dalam keselarasan ini pula. sehingga persepsi berada di dalam perwujudan di dalam suatu bahasa, yaitu gerak.
“Benarkah yang Miskin itu Menderita?” Sebagai Suatu Sikap Solidaritas
Bentuk nyata yang disalahkan Ponty dalam empirisme adalah: pertama kurang menghargai yang bersifat bendawi di dalam wujud pengaruh akan yang Ada. Kedua, di dalam cakupan kehidupan sosial, empirisme tidak memandang objek sebagai sesuatu yang aktif. Kritiknya terhadap empirisme merupakan bentuk wujud nyata dari pemikiran Ponty akan bentuk solidaritas di dalam kehidupan sosial.
Pertama, ia berusaha mengandalkan keterbukaan subjek sebagai sesuatu kekuatan di dalam setiap pandangan individu. Yang objek adalah kesamaran bagi subjek, sehingga melalui persepsi subjek terus berada atau juga dapat berada di dalam objek. Objek sendiri sebagai kumpulan subjek tidak hanya berdiam menunggu keaktifan subjek, melainkan turut aktif di dalam membongkar kesamaran tersebut.
Kedua, saling menjalin hubungan dengan subjek-subjek lain. Keselarasan mind dan body menjadi wujud di dalam setiap subjek menjalin hubungan dengan subjek-subjek lainnya. Yang miskin bukan dipandang sebagai objek, melainkan subjek-subjek menderita yang berbicara di dalam penderitaannya dengan bahasa gerak tubuh.
Solidaritas tidak memandang sebuah objek, melainkan relasi di antara subjek-subjek. “Benarkah yang miskin itu menderita?” harus dijadikan sebagai suatu persepsi awal di dalam menjalin hubungan antar-subjek, karena yang dianggap sebagai objek adalah juga rangsangan kepada subjek nantinya. Yang miskin juga sebagai subjek yang terus mencari pertolongan dengan kebutuhannya; dan persepsi adalah awal yang menjadi wujud nyata tindakan di dalam bentuk solidaritas, karena bentuk suatu solidaritas adalah bentuk rangsangan yang dapat di rasa dan dipikirkan.
Jadi mereka yang masih berteriak karena kelaparan, mereka yang mengungsi karena lumpur panas atau bencana alam adalah suatu bahasa dari mekanisme di dalam diri manusia (body) yang sangat membutuhkan pertolongan dalam bentuk kegelisahan yang tidak layak mereka terima selama ini di dalam kekeliruan persepsi.