27 November, 2007

Kehidupan Gereja Yang Berbasis Pada Pembinaan Berkesinambungan dan Menyeluruh

Pendahuluan

  1. Seorang Komunis dari Uni Soviet pernah bertanya kepada Gembala Gereja yang sedang menginjilinya itu: “Untuk apa Kristen hadir di dunia ini?” Lalu, jawab Gembala Gereja tersebut: “agar manusia dibumi ini mendapatkan keselamatan.” Mendengar jawaban tersebut, seorang komunis itu lalu pergi, sambil berkata: “Saya tidak butuh jaminan itu.”

  1. Suatu kali Mahatma Gandhi pernah berkeinginan untuk masuk dan mengikuti kebaktian di Gereja. Ketika ia masuk ke dalam Gereja tersebut, ia melihat jemaat duduk sesuai dengan kastanya masing-masing. Lalu dia tidak jadi mengikuti kebaktian.

Gambaran diatas sengaja saya tampilkan sebagai cerminan bagi kekristenan (baca: Gereja); dan ternyata gambaran diatas masih sangat relevan bagi gereja-gereja dewasa ini. Pada gambaran pertama, seorang komunis tersebut melihat ke arah praksis-transformatif, sedangkan gambaran kedua cenderung kepada sikap rekonstruksi etis. Namun intinya dalam ranah religiositas-dogmatis kedua gambaran diatas ingin merujuk kepada bentuk kenyataan dalam proyeksi kekinian (this world), bukan hanya the outer world. Dalam tradisi dogmatika Kristen fenomena ini dijelaskan dalam soteriologi (keselamatan).[1]

Gereja-gereja di dalam perjalanannya cenderung melihat soteriologi ke dalam ‘masa yang akan datang’ (the outer world), tanpa mempedulikan atau acuh kepada bentuk keselamatan masa kini (this world). Gereja hanya lebih mengkhususkan diri di dalam pernyataan-pernyataan yang sifatnya kurang responsif akan realitas-realitas yang terjadi. Padahal hubungan antara this world dengan the outer world adalah juga hubungan kontinuitas dalam bentuk prima causa. Pemahaman inilah yang mengakibatkan Gereja larut di dalam stagnasi atau kekakuan.

Kedua gambaran diatas sebenarnya ingin mengajak kita kepada pemahaman ulang akan pengertian Gereja yang selama ini terdistorsi dalam sikap pragmatisme semu, khususnya dalam pengertiannya sebagai komunitas atau keluarga (Mat. 12: 49-50). Dengan pendekatan sikap etis-praksis maka makna komunitas gerejawi akan menetaskan kehidupan gerejawi yang menyorot pola tingkah laku sebagai pondasi awal di dalam pembinaan Gereja sebagai wujud terciptanya koinonia.

Kehidupan Gereja Pondasi Awal dalam Gereja yang Hidup

Jika kita bertanya dan kemudian mencari apa yang menjadi dasar dari persekutuan Gereja? Maka jawab kita adalah seputar makna gereja (eklesia) dan perluasan maknanya. Jawaban tersebut adalah logika dasar sistematika pandangan kita. Namun secara epistemologi, hal mendasar dari persekutuan Gereja tersebut dilandaskan karena adanya pemahaman bersama yang mengikat. Pemahaman yang bukan sekedar dalam payung dogma, melainkan yang berbasis kepada aspek kehidupan (life). Pemahaman ini dapat disimpulkan, bahasa Paul Tillich, sebagai komunitas spiritual.

Bagi Tillich, komunitas spiritual berangkat dari 2 daktum penting, yakni ontologi dan kosmologi. Ontologi dapat dimengerti sebagai pemahaman atau pengenalan akan dirinya ketika mereka berjumpa dengan Tuhan, sedangkan kosmologi melihat sesuatu yang lain/ baru/ di luar dirinya ketika berjumpa dengan Tuhan.[2] Hal yang terdalam dari kehidupan di dalam keperibadian ini adalah ontologi yang menjadi titik tolak di dalam komunitas spiritual (kosmologi) - yang terikat di dalam pengertian yang sama dalam bentuk kasih persaudaraan (Fil. 2:1-2). Segala potensi yang mengikat haruslah berakar dari aspek ontologi dalam bentuk persamaan kognitif, sehingga Paulus membahasakannya ke dalam pembaharuan roh dan pikiran (Ef. 4: 23). Pemahaman Paulus ini harus dilihat dalam terminologinya mengenai persekutuan atau koinonia. Tak heran Paulus selalu mengingatkan manusia agar berada di dalam persekutuan atau koinonia dengan menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus (Fil. 2: 5). Intinya, pemahaman mendasar tersebut harus mendaging di dalam kehidupan spiritualitas yang melahirkan kehidupan kasih di dalam komunitas spiritual. Inilah kehidupan Gereja.

Spiritualitas di dalam pengertian ontologi (pribadi-pribadi) memang dapat menimbulkan resistensi di dalam persekutuan atau koinonia, namun mekanisme akan bentuk kasih persaudaraan dapat muncul ketika pemahaman yang mengikat di dalam persekutuan tidak berada di dalam ketakutan-ketakutan dogmatis tetapi haruslah berada di dalam bentuk kedagingan manusia – pemahaman yang sifat kognitifnya berada dalam pengertian untuk melengkapi tabiat manusia sebagai mahluk berelasi dan co-existence. Artinya, spiritualitas diperlukan untuk mengembangkan komunitas di dalam kebutuhan personal/pribadi.

Menurut John MacMurray di dalam bukunya Person in Relation, manusia adalah komunitas personal yang berelasi. Manusia tidak dapat berkembang ketika berada diluar dari konteks komunitas personal. “I” tidak mungkin menjadi jika tidak ada “you”, tanpa sesuatu yang ideal dari “we” sebagai komunitas. Komunitas adalah proses bagaimana kita berpikir, merasakan dan bertindak bersama-sama. Yang pribadi tidak dimengerti di dalam kebenaran mutlak.

Dengan pengertian manusia sebagai mahluk berelasi maka kehidupan gereja haruslah menyorot kepada basis kehidupan yang tidak kaku yang hanya terbatas pada diri sendiri, tapi di dalamnya turut aktif membentuk komunitas-komunitas baru dan juga bergumul dalam mempertahankan atau memperbaharui komunitas-komunitas yang lain sebagai mekanisme ontologi yang melahirkan kosmologi. Makna kasih sebagai pondasi dasar dari komunitas harus dimengerti dalam hubungannya dengan pribadi atau komunitas yang lain.

Koinonia sebagai Persekutuan Etis

Ada tiga tugas panggilan gereja di dalam kehadirannya di bumi ini, yakni Marturia, Koinonia dan Diakonia. Ketiganya saling berhubungan satu sama lain di dalam penjelasan praksisnya. Tugas yang satu menjadi sempurna tatkala berada di dalam keterkaitan dengan tugas yang lainnya, begitu juga sebaliknya. Koinonia sebagai persekutuan yang hidup harus menjalankan peran marturia dan diakonianya. Tidak kaku sebatas pada komunitas itu sendiri, dan tidak puas akan kuantitas itu sendiri. Peran penting dalam koinonia yang menyangkut pada 2 hal, yakni kuantitas dan kualitas harus berada dalam kesinergisan.

Menurut Harvey Cox, peran koinonia adalah peran di dalam membangun City of Man. Gambaran Harvey Cox ini menuju kepada sebuah cita-cita yang tidak lagi sekedar persekutuan, melainkan peradaban manusia. Semuanya harus bermula dari membangun komunitas kecil di dalam persaudaraan kasih, sehingga cita-cita ke arah membangun peradaban manusia yang lebih baik dapat terwujud (this world). Inilah impian Harvey Cox tentang koinoniannya.

Untuk membangun koinonia maka berarti kita harus membangun etika Kristen di dalam persekutuan tersebut. Di dalam Alkitab, etika Kristen memang selalu menyorot kepada bentuk etika komunitas atau persekutuan. Alasannya, pertama, etika Kristen selalu diberikan kepada pribadi-pribadi manusia di dalam menyesuaikan diri dengan komunitasnya, kedua etika Kristen diberikan untuk komunitas secara keseluruhan, dan ketiga etika Kristen diberikan untuk membangun komunitas tersebut. Ketika etika Kristen sudah terbangun menjadi pondasi dari persekutuan maka persaudaraan kasih yang menjadi pesan di dalam Alkitab dapat terwujud.

Intinya, etika Kristen tidak hanya terpaku kepada etika personal, tapi di dalamnya ada nilai-nilai moralitas yang membangun untuk menciptakan koinonia yang ideal, bahkan dunia atau peradaban yang lebih baik sesuai impian Harvey Cox, karena nilai-nilai etis bagi Kristiani adalah nilai-nilai yang universal di dalam diri manusia sebagai mahluk sosial.

Metode Penerapan di dalam Pembinaan

Seperti yang dikatakan Paulus di dalam menggambarkan persekutuan, bahwa diperlukan pembaharuan roh dan pikiran, maka di dalam mengembangkan etika Kristen diperlukan 2 aspek, pertama, paedagogis atau pendidikan. Pendidikan tersebut lebih mengarahkan manusia ke arah transformasi dalam kualitas perkembangan hidup. Artinya pendidikan dibawa ke arah pembentukan etika dan moral.

Ada dua sifat secara psikologis yang mendasari pendidikan, yakni sifat kognitif dan psikomotorik. Kedua sifat ini menggambarkan kompetensi dan isi akan nilai-nilai etis Kristiani dari pribadi-pribadi manusia. Untuk yang bersifat kognitif, metode pendidikan dapat dilakukan dengan strategi heuristic atau penemuan, sedangkan yang sifatnya psikomotorik dapat dilakukan dengan metode pemberitahuan dan pelatihan/expository. Kedua sifat ini seyogyanya dibarengi dengan keberimbangan akan usia seseorang dan konteks di dalam komunitas.

Kedua, selain pedagogis, yakni dengan spiritualitas (Roma 8: 29). Spiritualitas disini lebih diarahkan kepada Teologi Operasional seseorang. Artinya, bagaimana perkembangan iman seseorang tersebut yang di dalam pengertiannya (pengetahuan dan Nalar) dalam memuliakan Allah, bahkan ketika melewati cobaan-cobaan iman di dalam sebuah refleksi teologis (bdk. Flp. 3:7-9)

Garis-garis pendekatan yang biasanya digunakan di dalam spiritualitas ini, yakni dapat dilakukan dengan pendekatan kontemplatif (meditasi/hening) dan pendekatan intelektual (Pendalaman Alkitab/kelompok kecil). Tentunya, kedua pendekatan ini dapat disesuaikan dengan kebutuhan yang diperlukan.

Pembinaan Holistik dan Berkesinambungan

Untuk penerapan pembinaan dalam membangun persekutuan maka yang paling dibutuhkan adalah membagi atau mengkategorikan kelompok-kelompok sesuai dengan kebutuhan pembinaan tersebut, sehingga pembinaan bagi persekutuan dapat mengena sasarannya.

Pada taraf ini, yang sering dilakukan adalah dengan membagi sesuai dengan kategori usia. Pembagian kategori tersebut diupayakan dengan maksud agar pembinaan dapat berjalan secara komprehensif dan berkesinambungan. Bentuk pembinaan tersebut juga bermaksud sebagai bentuk regenerasi atau peremajaan bagi kehidupan gereja.

Di HKBP sendiri pembagian kategorial menurut usianya, yakni kategorial Sekolah Minggu untuk usia anak-anak, Kategorial Remaja untuk remaja, Kategorial Naposobulung (NHKBP) untuk pemuda, Kategorial Ama dan Ina untuk kaum Bapak dan Ibu serta Kategorial Lansia untuk orang-orang yang lanjut Usia. Pembagian kategori umur ini hanyalah garis besar dari pembagian kelompok umur secara umum, tidak menutup kemungkinan juga pembagian kategorial tersebut kembali dibagi sesuai dengan kebutuhannya dan kemampuan umurnya (secara psikologis). Misalnya saja untuk Kategorial Sekolah Minggu yang masih dibagi lagi sesuai dengan kelompok umurnya masing-masing (horong 1 sampai 3). Selain pembagian menurut kelompok usia pembinaan koinonia juga sering dikategorikan berdasarkan pembagian gender. Misalkan saja pada zaman sekarang sudah banyak gereja-gereja yang memasukkan kategorial wanita sebagai agenda pelayanannya.

Yang menjadi fungsi dari pembagian kategorial tersebut agar pembinaan bagi persekutuan/koinonia dapat disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan di dalam psikologis manusia. Tak menutup kemungkinan pula ada pembagian kategorial yang baru di dalam persekutuan (gereja) yang sifatnya komprehensif dan pragmatis, sehingga pembinaan dari persekutuan sendiri menjadi hidup dengan menjawab kebutuhan-kebutuhan persekutuan di dalam rentangan ruang dan waktu.

Dengan pembinaan tersebut maka etika Kristen yang menjadi pesan di dalam Alkitab dapat dibahasakan sesuai dengan tingkatan dari kebutuhan-kebutuhan, tanpa mengubah pesan dari pondasi persekutuan/koinonia sebagai persaudaraan kasih.

Maka dari itu agar pembinaan dalam membangun sebuah persekutuan/koinonia tersebut dapat berjalan maka dibutuhkan peran aktif masing-masing pribadi di dalam bersekutu, bergumul dan berjuang bersama di dalam persaudaraan kasih.

Penutup

Filemon 1:6

“Dan aku berdoa, agar persekutuanmu di dalam iman turut mengerjakan pengetahuan akan yang baik di antara kita untuk Kristus.”

Kepustakaan

Macmurray, John. Person in Relation. London: Faber and Faber, 1961.

Tillich, Paul. Teology of Culture. New York: Oxford University Press, 1959.

Hanson, Bradley C.(ed.) Modern Christian Spirituality. Atlanta Georgia: Scholars Press,

1990.

Hart, Thomas. Spiritual Quest. New York: Paulist Press, 1999.



[1] Penjelasan mengenai this world dan the outer world berakar dari istilah “Kerajaan Allah sudah dekat” ( Mrk. 1: 15)

[2] Paul Tillich, Teology of Culture (New York: Oxford University Press, 1959), hlm. 10-11.

Renungan Yohanes 11:23-27

Bahan Renungan : Yohanes 11: 23-27

Latar Belakang


Yohanes 11: 23-27 merupakan penggalan dari kisah kebangkitan Lazarus. Secara tekstual ayat ini, Yohanes 11: 23-27, merupakan penggalan dari satu perikop, yakni dari Yohanes 11: 1-44. Keseluruhan dari perikop ini mengangkat tema mengenai satu sosok, yakni Lazarus, di mana jika kita menganalisis perikop tersebut maka Perikop ini memiliki 3 Babak. Babak pertama adalah dari ayat 1 sampai ayat 16. Babak kedua adalah ayat 17 sampai 32, sedangkan Babak ketiga, mulai dari ayat 33 sampai 44. Ayat yang menjadi bahasan kita, termasuk ke dalam babak yang kedua, namun kisahnya berangkat dari babak pertama (ay. 1-16).

Awal pada babak pertama hanya menjelaskan identitas dan kondisi dari Lazarus. Dikatakan bahwa Lazarus merupakan saudara dari Maria yang mempunyai adik bernama, Marta. Lazarus pada waktu itu tinggal di Betania yang merupakan kampung dari Maria seorang perempuan yang pernah meminyaki kaki Tuhan dengan minyak Mur dan menyekanya dengan rambutnya (ay. 2). Mengenai kondisi Lazarus, dikatakan bahwa Lazarus pada waktu itu sedang sakit. Baru pada akhir babak pertama, barulah dikabarkan bahwa Lazarus telah meninggal.

Ada yang menarik di sini, bahwa meninggalnya Lazarus telah diketahui terlebih dahulu oleh Yesus, sebelum mereka memberitahukan (ay. 11), bahkan mereka yang bersama Yesus menyangka bahwa Lazarus hanya (masih) tertidur. Mereka belum tahu bahwa Lazarus telah meninggal. Barulah Yesus menjelaskan bahwa Lazarus telah meninggal. Ayat 11 ini dapat dikatakan sebagai petanda awal dari tindakanNya untuk membangkitkan Lazarus (kuasaNya). Itulah akhir dari babak pertama.

Untuk babak kedua marilah sejenak kita lewati terlebih dahulu. Kita langsung menuju ke babak ketiga (ay. 23-44), di mana pada babak tersebut Yesus membangkitkan Lazarus. Inilah akhir dari kisah kebangkitas Lazarus; dan akhirnya kisah tersebut adalah penekanan atau penegasan akan kebenaran ucapan Yesus. Ia ingin menunjukkan kebenaran di dalam kuasa sebagai Anak Allah. Lalu ucapan kebenaran Yesus mana yang ingin ditegaskan? Itulah ayat yang menjadi pembahasan kita. Intinya ada pada ayat 25 dan 26.

Tafsiran

Pada ayat 23 sebenarnya apa yang dikatakan Yesus kepada Marta, “Saudaramu akan bangkit” sudah ingin mengarahkan kita kepada inti dari ucapan Yesus (ay. 25 dan 26). Paling tidak dari perkataan tersebut, terdapat dua maksud di dalam kebenarannya Pertama, bahwa Lazarus nantinya akan bangkit secara fisik. Maksud ini merupakan sebuah janji dalam bentuk penguatan dan penghiburan diri terhadap Marta yang kehilangan saudaranya, Lazarus. Janji tersebut nantinya akan diwujudkan dengan membangkitkan Lazarus secara fisik (ay. 44). Maksud kedua, yakni merujuk kepada istilah bangkit dalam pengertian kehidupan abadi. Pengertian ini tidak dilandaskan dalam istilah tubuh sebagai fisik, tetapi setelah kematian (fisik), tetaplah ada kehidupan. Itulah kehidupan abadi (eternal life), walaupun ada syarat tertentu akan kehidupan abadi ini yang dijelaskan pada ayat 26.

Ayat 24 adalah balasan pernyataan (feedback) dari Marta akan pernyataan Yesus tersebut. Balasan pernyataan tersebut mengarah pada maksud yang kedua tentang kehidupan yang abadi. Pernyataan tersebut berdasarkan keyakinan Marta atas pernyataan Yesus yang adalah Anak Allah. Marta meyakini bahwa Lazarus akan kebangkitan pada akhir zaman. Keyakinannya merpakan kepasrahan di dalam iman dirinya.

Ayat 25 dan 26 adalah kesimpulan di dalam pernyataan Yesus. "Akulah kebangkitan dan hidup; barangsiapa percaya kepada-Ku, ia akan hidup walaupun ia sudah mati, dan setiap orang yang hidup dan yang percaya kepada-Ku, tidak akan mati selama-lamanya. Percayakah engkau akan hal ini? Ayat 25 dan 26 ini dikhususkan kepada kehidupan yang abadi. Istilah “Akulah…” menandakan otoritas Yesus sebagai pemilik kuasa atas kematian dan kebangkitan. Yesus adalah otoritas itu. Yesus adalah substansi. Dia telah melampaui kematian dan kebangkitan, sehingga pernyataan Yesus tersebut berada di dalam kuasaNya.

Di dalam kuasanya tersebut, Yesus ingin membagikan kabar keselamatan kepada semua orang berupa kehidupan abadi. Kabar tersebut adalah manusia akan hidup walaupun sudah mati. Dalam kitab Yohanes tampaknya ada di dalam teologi Yohanes mengenai dualisme tubuh dan jiwa (soul), sehingga kematian di sini adalah fisik atau tubuh, sedangkan kehidupan berada di dalam pengertian jiwa. Tubuh boleh tiada tapi jiwa tetap ada. Ini adalah kebenaran di dalam interpretasi, setengah kebenaran lagi mungkin terdapat tubuh yang baru setelah kebangkitan, tetapi pengertian tubuh tersebut tidak sama dengan tubuh pada kematian atau sebelum kebangkitan, karena tubuh tersebut bebas dari kejahatan (evil). Intinya menuju kepada kehidupan yang abadi. Namun, seperti yang sudah dikatakan tadi, untuk menuju kehidupan abadi tersebut terdapat syarat mutlak, yakni harus percaya kepadaNya (Yesus sebagai Tuhan). Percaya di sini mengandaikan kuasa dari Yesus tentang kehidupan abadi yang akan diberikan juga kepada manusia. Di dalam percaya berarti ada penyerahan hidup manusia (ay. 26), tidak semata-mata keyakinan akan bentuk rasional dan empiris, melainkan sebagaimana iman tersebut menjadi pondasi kehidupan manusia.

Pada ayat 26 itu juga, kalimat terakhir, Yesus “melempar” sebuah pertanyaan kepada Marta: “Percayakah engkau akan hal ini?” Pertanyaan ini ingin menguji keyakinan Marta akan perkataan dan pernyataan Yesus. Yesus sendiri ingin mengetahui reaksi dari Marta setelah mendengar pernyataan Yesus tersebut.

Ayat 27 adalah jawabannya, bahwa Marta percaya akan pernyataan Yesus itu. Lebih khusus lagi, jawaban Marta mengkonsentrasikan akan Yesus pemilik kuasa itu. Yesus adalah Mesias dan Anak Allah. Kesemuanya akan pernyataan Yesus di dalam pemegang otoritas tersebut. Tiada yang mustahil di dalam Yesus sebagai Mesias dan Anak Allah. Mungkin demikianlah jawaban Marta jika kita menginterpretasikannya.

Aplikasi

Ucapan Yesus mengenai “Akulah kebangkitan dan hidup…” adalah sebuah janji bagi kita, manusia, yang telah mempercayai Yesus sebagai Tuhan. Kita telah mendapatkan kehidupan abadi itu. Kita telah mendapatkan kuasa setelah kita percaya kepada-Nya. Yesus yang dapat membangkitkan Lazarus dari kematian fisik ingin menegaskan kepada kita bahwa Yesus yang kita percayai itu adalah benar pemilik kuasa akan kebangkitan dan hidup. Dia adalah substansi. Artinya, Yesus telah melampaui kematian dan kebangkitan. Dia adalah sumber kehidupan dari segalanya.

Kegelisahan manusia selama ini mengenai kehidupan setelah kematian selama ini, terjawab sudah. Mungkin kita boleh mati dalam pengertian fisik, tapi jiwa kita dengan tubuh yang baru selalu hidup. Kehidupan abadi yang bebas dari kejahatan atau nafsu kedagingan.

Manusia pada dasarnya selalu mencari kemana manusia setelah mati? Bahkan ilmu pengetahuanpun selalu membantu untuk pencarian ini. Dari ayat ini dapat ditegaskan bahwa ilmu-ilmu pengetahuan tidak dapat menjawab hal ini; dan juga tidak menjamin akan kehidupan abadi. Manusia hanya mempunyai harapan untuk dapat mencapai kehidupan yang abadi, tetapi semuanya bergantung kepada apa yang ia percayai. Jikalau ia tidak percaya maka kehidupan abadi itu tidak mungkin ada, tetapi jika kita mempercayaiNya maka kita mendapatkan kehidupan abadi itu.

Kontekstualisasi

Jika pada ayat 26, Yesus bertanya kepada Marta, maka Marta menjawab bahwa ia percaya. Lalu bagaimana dengan kita? Pertanyaan Yesus kepada Maris tersebut bukan hanya ditujukan kepada Marta, melainkan juga kepada kita semua. “Percayakah engkau akan hal ini?” Untuk mendapatkan kahidupan abadi maka kita (manusia) harus hidup dan percaya kepada Yesus itulah syarat mutlak. Hidup dan percaya singkatnya di dalam pengertian kesungguhan untuk menjalaninya. Kesungguhan bukan dalam arti rasional dan empiris belaka tetapi di dalam tingkahlaku yang menyoal kepada kesungguhan untuk hidup kudus seperti yang diajarkan Tuhan Yesus.

Pertanyaan Yesus ini adalah teguran bagi manusia juga, karena manusia sering lupa akan bentuk hidup dan percaya itu. Di dalam pragmatisme manusia sering larut di dalam kenikmatan-kenikmatan duniawi. Contoh paling nyata adalah dalam bentuk materialisme. Seakan-akan materilah yang menjadi pegangan manusia itu, bukan Yesus.

Manusia modern selalu menghadirkan jadwal kesibukan yang tinggi, lalu adakah tempat dimana kita bisa hidup dan percaya kepada Yesus? Kita mungkin dapat hidup di zaman modern, bahkan dizaman apa pun, tetapi pondasi dalam hidup kita Cuma satu, yakni Yesus Kristus, Sang Mesias dan Anak Allah.

Hidup dan percaya kepada Yesus adalah hal yang paling manusiawi dan mendasar dalam manusia, sehingga pertanyaan Yesus mengenai “Percayakah engkau akan hal ini?” harus dijawab pula dengan keseriusan di dalam hidup. Kita tidak boleh menganggap remeh akan pertanyaan tersebut. Beberapa kali bangsa Israel selalu menyimpang dari jalan Allah, sehingga mereka selalu ditegur. Kita tidak boleh serupa sama mereka. Hidup kita harus benar-benar kita serahkan untuk percaya kepada Yesus. Karena dengan inilah kita dapat hidup abadi.

Kesempatan hidup kita di dunia haruslah kita manfaatkan benar-benar untuk percaya kepada Yesus. Jangan memakai jalan-jalan lain diluar hal ini untuk mencari kehidupan abadi, karena di dunia ini banyak menawarkan kehidupan abadi, entah itu ilmu pengetahuan ataupun kebatinan, tetapi itu semua palsu. Hanya melaluiNyalah maka keabadian itu akan tercipta. Jalan-jalan lain diluar dari Yesus tidak memiliki kuasa, sehingga jaminan-jaminan yang diberikan kepada manusia tidak ada benarnya. Tetapi Yesus memiliki kuasa itu. Ia telah melampaui kebangkitan dan kematian, sehingga pernyataan Yesus adalah benar. Amin.